"Kena Mental" merepresentasikan keadaan psikis masyarakat saat ini. Dikemas dengan bahasa guyon yang sebenarnya memang benar adanya. Saya merupakan anak sulung dari tiga bersaudara. Bukan, sebenarnya bukan anak sulung.. tapi anak kedua yang terpaksa menjadi anak sulung, ya karena kakak saya sudah dipanggil Tuhan. Kalau bahasa anak jaman sekarang "candaan lu dark banget" padahal saya merasa hidup saya terang-terang saja, haha.
Sembilan belas tahun mengarungi hidup dengan mengambil banyak peran, yakni harus menjadi anak, kakak, cucu, keponakan, cicit, teman, musuh, sahabat, murid, mahasiswa, anggota sebuah organisasi, dan pastinya hamba Tuhan (edisi  menjadi anak tauladan haha). Banyak peran yang ternyata telah kita lakoni di hidup ini, dan bahkan yang saya sebutkan tadi masih jauh dari kata lengkap. Tanpa saya sadari, setiap peran yang saya lakoni sudah berjalan se-lama ini. Banyak suka, banyak duka, banyak apa lagi ya? Rasanya hidup ini sangat berlika liku seperti rute dari Singaraja ke Bedugul, saking berlika likunya, rasanya ingin muntah!
Menjadi anak sulung tuntutannya besar sekali. Mulai dari orang tua yang menjadikan saya kelinci percobaan dalam pendikan, diikutsertakan bimbel sana sini, harus dapat ranking 1, masuk SMP Favorit, harus masuk jurusan IPA di sekolah, hingga ke Universitas yang ditentukan pula. Mulai dari SMA saya sudah hidup seperti penjara. Namun bukannya saya berkata bahwa orang tua saya tidak baik, tapi saya tahu mereka ingin yang terbaik buat anaknya dan juga bisa menjadikan saya sebagai contoh yang baik untuk adik-adik saya. Kekangan itu membuat saya terbiasa hidup dengan belajar dan membuat saya lebih berprestasi dibanding adik saya, karena ketika saya tiba-tiba stress karena masuk jurusan IPA di SMA, orang tua saya merasa bersalah dan akhirnya tidak ingin adik-adik saya terkekang seperti saya. Hal itu menjadikan adik saya lebih bebas belajar dan berekspresi disbanding saya dulu, hmm...memanglah kelinci percobaan
Mulai dari hal-hal kecil saya dibiasakan hidup mandiri dibanding adik-adik saya. Ketika saya SMP, saya tinggal bersama bibi saya di kota, dengan usia yang masih belia saya sudah ditempa menjadi pribadi yang mandiri. Hal kecil lain seperti pergi berbelanja, mengurus surat di kantor desa, mengurus keperluan pendaftaran sekolah sendiri, dan hal kecil lainnya saya sudah biasa melakoninya sendiri, sedangkan adik-adik saya hanya minta ditemani oleh saya. Kadang saya merasa jengkel dan merasa orang tua saya terlalu memanjakan adik saya, kadang juga saya menangis dan merasakan susahnya menjadi anak sulung. Namun bukan berarti saya kalah dengan keadaan.
Semakin saya dewasa, semakin pula saya sadar perihal orang tua saya yang banting tulang menyekolahkan anak-anaknya. Saya mulai merasa memiliki tanggung jawab besar dalam memikul pundak ekonomi keluarga. Saya sadar, ternyata saya memang harus merubah nasib keluarga ini. Sampai kapan saya hanya berdiam diri dan melihat orang-orang sukses yang sekadar kita kagumi, kapan kita menjadi orang sukses seperti mereka?
Di dewasakan oleh banyak hal bukanlah perkara mudah. Banyak problematika yang harus dilewati. Saya mulai berambisi untuk mencari pengalaman yang banyak, mulai dari tantangan mempertahankan IPK 4 saya, membagi waktu dengan banyak organisasi, mengerjakan tugas rumah, mengikuti olimpiade, Â dll.terkadang orang-orang tidak memedulikan proses yang saya lalui. Mereka hanya bisa menjustifikasi kehidupan seseorang. Saya juga banyak hatersnya, tapi tidak membuat saya larut dalam pemikiran berlebih di tengah malam. Mending saya buat tugas daripada harus overthinking, hehe.
Jadi, anak sulung itu sebenarnya adalah anugerah yang sangat patut kita syukuri. Terlihat menderita, namun di setiap masalah akan mendewasakan, di setiap langkah yang kita ambil akan melahirkan pengalaman baru yang akan kita bagikan ke adik-adik kita. Ketika kita berhasil menjadi anak sulung yang baik , kebanggaan orang tua terhadap kita dan diri kita sendiri pasti akan bertambah selagi kita mengurangi niat untuk menyerah. Mengeluh boleh, menyerah jangan! Menjadi anak sulung bukanlah kutukan, melainkan keberuntungan.
Salam untuk semua anak sulung di dunia,kalian luar biasa!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H