Mohon tunggu...
Putu Iwan Wibawa
Putu Iwan Wibawa Mohon Tunggu... wiraswasta -

Tukang corat-coret kanvas digital dan kanvas betulan, corat coret buku kotak milik adik, tertarik dengan semua hal yang ada di dunia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Black Sweet Revenge

6 Mei 2012   14:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:38 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semua seolah berjalan tidak menentu. Saat rintik hujan mulai membasahi beberapa bilah bambu tempatku terpaku. Darah masih mengucur dari pelipis kiriku dan di beberapa bagian kakiku. Tidak juga aku hiraukan suara derit-derit rel kereta yang melintas tak jauh dari posisiku.

“Hah, apa yang harus aku lakukan” desahku pelan. Kondisi ini akan memberatkanku jika tidak segera aku atasi. Ku coba untuk menghalau perih yang makin terasa di pipi. Perih ini mungkin tidak seberapa bila dibandingkan dengan perihnya hatiku manakala mengetahui aku yang seorang pembunuh bayaran terlatih. Bisa gagal dalam melaksanakan tugas sepele seperti ini.

“Apa kata majikanku nanti” keluhku dalam hati.

“Aku sebaiknya menyembunyikan diri sementara aku menyusun strategi baru” pikirku lagi seraya membenahi letak dudukku. Ku usap beberapa darah yang menetes di bilah bambu. Sambil berbebas, aku memperhatikan di sekelilingku, tidak ada hal yang mencurigakan. Seorang tukang kebun setengah tua bertopi lusuh masih sibuk dengan pekerjaannya. Tidak heran, dedikasinya yang tinggi pastilah sangat dihargai oleh yang memperkerjakannya. Di sebelah barat, terlihat seorang pejalan kaki. Sepertinya ia lagi bosan, dan sibuk menendang-nendang kerikil yang ada di sepanjang jalannya.

Akhirnya dengan sedikit terengah-engah, aku mencapai tempat berteduh. Sebuah gudang kosong yang berisi tumpukan jerami di beberapa sudut. Sepertinya tempat untuk menimbun jerami dan rumput kering. Bisa jadi sebuah istal kuda yang sudah tidak digunakan lagi.

“Acchhh…” erangku tertahan. Darah mengucur lagi dari pelipisku. Mataku berkunang-kunang, dunia seakan berputar-putar. Sebaiknya aku memejamkan mata sesaat untuk memulihkan diri.

Cerita itu sepertinya ada benarnya. Bahwa menjadi seorang pembunuh bayaran tidaklah semudah yang aku pikirkan. Mendedikasikan semua hal adalah konsekuensi dari ini semua. Tetapi, menyesali itu semua sudah tidak ada gunanya lagi saat ini. Tugasku adalah membunuh dengan cepat target yang telah ditetapkan. Aku tidak bisa membiarkannya berlarut-larut dan menjadi pengecut seperti sekarang. Jika tidak, nyawaku sendirilah yang akan menjadi taruhan ini semua. Mungkin perintah ini tidak seharusnya aku terima. Aku masih menyimpan beberapa tugas lain yang harus aku kerjakan. Membalaskan dendam kedua orang tuaku adalah misi besarku yang lain. Tidak akan aku biarkan pembunuh orang tuaku berkeliaran dengan seenaknya. Orang itu pasti akan aku bunuh secara perlahan sehingga apa yang aku rasakan selama ini dapat terlampiaskan. Dia harus merasakan penderitaan yang telah aku alami beberapa tahun ini.

“Zu…ya…zu…ya”

“Zu…ya….zu…ya…..bangun…..Zuya,,bangun”

“Radit???....Dokter Radit?” ucapku terbata-bata sembari mengusap-usapkan jemariku.

“Iya…ini aku. Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya terburu-buru seraya membopongku memperbaiki posisi dudukku. Dia bergegas mengumpulkan setumpuk jerami di sudut untuk dijadikan bantal buatku. Begitu cekatannya ia seolah-olah terbiasa dengan gudang jerami selama puluhan tahun. Aku memandanginya beberapa saat kemudian tersadar, bahwa aku masih menggenggam sepucuk pistol di tanganku.

“Apa yang akan aku lakukan dengan ini” gumamku dalam hati. Aku coba selipkan tanganku ke dalam tumpukan rumput-rumput kering di sebelahku.

“Tidak usah kamu sembunyikan itu Zuya. Aku telah mengetahui latar belakang dan pekerjaanmu. Aku bukanlah orang yang tidak peduli terhadap pasienku” celetuknya sembari memandangku lekat.

Aku terdiam membisu. Aku coba tatap pandangannya yang tajam ke arahku. Aku tidak mengerti. Aku berusaha untuk menyembunyikan identitas dan profesiku selama ini. Mungkin saja ada yang membocorkan identitasku. Tapi siapa? Aku tidak memiliki teman dekat. Aku juga tinggal di apartemen yang tidak diketahui oleh orang lain. Aku memiliki identitas ganda.

“Zuya. Aku selama ini mengamatimu. Aku sendiri sebenarnya menyembunyikan beberapa hal darimu. Beberapa waktu lalu, saat kamu datang ke tempatku untuk memeriksakan kondisimu. Saat itu aku menyadari ada sesuatu yang tidak wajar pada penyakitmu”

“Penyakitku? Ada apa dengan penyakitku Radit?” teriakku tertahan.

Radit menarik nafas panjang. Menghela beberapa saat, sejenak memperbaiki duduknya.

“Zuya, aku harap kamu bisa menerima kenyataan ini”

“Kenyataan apa?”

“Kamu mengidap kanker otak stadium akhir”

“Apaaaaaaa…..?” pekikku.

“Ini tidak mungkin Radit. Aku tidak mungkin mengidap penyakit seperti itu. Pasti ada yang salah dengan semua ini. Aku tidak percaya” bantahku berulang-ulang.

“Inilah kenyataannya, dan kamu harus menerimanya”

“Tapi Radit, bagaimana dengan misiku? Aku masih memiliki banyak tugas yang harus aku selesaikan. Aku tidak bisa menerima ini. Jangan mengada-ada Radit. Aku tidak segan membunuh orang yang menghalangiku” bentakku sambil berdiri. Radit terhenyak dari duduknya. Serta merta ia berdiri memelukku.

“Zuya. Tenangkan dirimu. Aku akan berusaha semampuku untuk mengobatimu” urai Radit masih memelukku erat. Aku terpaku, tanpa terasa air mataku menetes. Untuk pertama kalinya setelah orang tuaku meninggal, aku meneteskan air mataku. Inikah ajalku? Atas apa yang telah aku lakukan, inikah giliranku? Tidak! Aku harus membunuh seseorang. Aku harus membalaskan dendam orang tuaku. Aku tidak boleh mati sebelum mimpiku terwujud. Dan aku tidak akan pernah mati tenang jika aku gagal.

Waktu berlalu begitu cepat. Dokter Radit merawatku dengan penuh perhatian. Dia melakukan apapun untuk mengobatiku. Beberapa hari ini ia tidak tidur. Ia menggunakan seluruh kemampuannya untuk mencari solusi atas penyakitku. Belum pernah aku menemukan orang yang begitu tulus membantuku. Selama ini, aku hanya hidup dari bayang-bayang dan perintah orang lain. Aku hanya hidup untuk uang. Dan uang adalah sahabatku. Aku tidak pernah menyangka akan ada yang begitu baik padaku.

Untuk ke sekian kalinya, akhirnya aku sadar. Apa yang menyebabkan beberapa tembakanku meleset. Gangguan di penglihatanku disebabkan oleh penyakit ini.

“Sial. Sungguh sial. Di saat seperti ini, penyakit ini datang menggangguku” keluhku dalam hati.

“Zuya. Apa yang kamu pikirkan? Aku mendapatkan sebuah amplop dari seseorang yang tidak kukenal. Aku rasa ini untukmu” kata Radit menyodorkan sebuah amplop cokelat besar. Aku raih amplop itu dengan penuh rasa penasaran. Siapakah gerangan yang memberikannya. Dan beberapa pertanyaan lain yang bercampur aduk di kepalaku. Membuatku semakin pusing.

Aku buka perlahan. Di dalamnya terdapat beberapa dokumen dan foto-foto. Aku terperanjat. Ini semua foto dan data-data orang yang aku cari selama ini. Darimana ini semua?

“Zuya, boleh aku lihat” tanya Radit menghampiriku. Aku sodorkan beberapa lembar foto dalam amplop kepadanya. Sambil mengerutkan dahi, Radit membolak balik foto-foto tersebut. Sepertinya ia sedang mencerna sesuatu di balik kaca matanya.

“Zuya, aku mengenal orang ini. Dia adalah rekan bisnis ayahku. Beberapa waktu lalu ia sempat datang ke tempatku untuk mengambil beberapa dokumen. Aku tidak tahu apa hubungan ini semua denganmu. Tetapi, aku yakin ini sangat penting untukmu. Bisakah kamu menceritakannya?”

“hmmmm….” desahku pelan. “Dia adalah orang yang telah membuatku menderita. Dia lah yang membunuh kedua orang tuaku sepuluh tahun lalu saat aku masih berusia dua belas tahun. Ia membunuh kedua orang tuaku di depan mata dan kepalaku. Saat itu aku ketakutan. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain melihat orang tuaku terkapar bersimbah darah” uraiku.

“Namanya William Scott. Seorang pialang saham. Apakah orang tuamu pemilik pertambangan di bagian barat? Aku sempat mendapatkan informasi beberapa waktu lalu, bahwa ia bersengketa terkait saham pertambangan dengan beberapa pebisnis di daerah itu”

“Willliam?” gumamku.

“Yah, namanya William. Aku bisa membawamu kepadanya jika kamu mau. Aku tahu tempat dimana ia biasanya menghabiskan waktu. Sebaiknya jangan kamu tunda jika memang ingin membalaskan dendam orang tuamu”

“Benarkah? Ini sangat berbahaya. Aku tidak ingin melibatkanmu atas apa yang aku kerjakan. Dosa ini biar aku yang menanggungnya”

“Kamu yakin bisa melakukannya sendiri?”

“Aku terbiasa dengan pekerjaan seperti ini. Tidak usah khawatirkan aku.”

“Baiklah jika memang itu yang kamu inginkan.”

Radit menyodorkan selembar kertas bergambar denah lokasi tempat si William berada. Aku membacanya perlahan. Tidak perlu menunggu lama untuk mempelajari apa yang ditawarkan Radit. Aku langsung beranjak dan memastikan amunisi pistolku telah terisi dengan penuh.

Tanpa berpikir panjang, aku mendobrak beberapa pintu dan melumpuhkan beberapa orang pengamanan. Rumah William tidak jauh dari stasiun kereta. Berdindingkan batu alam berwarna hitam pekat. Terdapat beberapa pilar besar bergaya eropa. Setiap sudut memiliki penerangan temaram dan dijaga oleh beberapa orang. Di beberapa ruangan terlihat sepi dan lembab. Aku berlari menerobos beberapa pintu dan menghantam beberapa penghalang.

“William….keluar kau???” teriakku lantang menggema di seluruh ruangan. Beberapa penjaga berurai menyambutku. Dua orang melemparkan pisau kecil yang bisa aku hindari dengan gerakan melingkar. Beberapa menyerangku dari sudut belakang. Aku melompat dan bermanuver untuk mengacaukan barisan penjaga. Seorang memukulku dari belakang. Serta merta aku robohkan dengan tendangan ganda disertai dengan pukulan bertubi-tubi ke arahnya.

Sejenak kemudian, sosok William muncul dari lorong sebelah barat. Dia menembakku. Kakiku terkena timah panas. Namun aku masih bisa berlari menghindari tembakan berikutnya. Dengan sigap aku membalas tembakannya dan menerjang ke arahnya. Tembakanku mengenai tangannya. Pistolnya terlepas. Tanpa membuang waktu, aku lalu membidik pistolku tepat ke arah dadanya.

“Arrrrhhhhhhhh” pekiknya.

“Inilah ajalmu”, teriakku memuntahkan semua peluruku yang tersisa ke arahnya. Tatapan William semakin muram, kemudian terjerembab ke lantai. Darah mengalir dari tubuhnya membasahi lantai. William pun tewas di tanganku. Aku terhuyung-huyung, kepalaku mendadak sakit tidak tertahankan. Aku pun ambrug tanpa sadarkan diri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun