Mohon tunggu...
Putu Yudyaheri
Putu Yudyaheri Mohon Tunggu... Jurnalis - 100% Human

Manusia biasa yang belum selesai dengan dirinya sendiri

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Keluarga, Garda Terdepan Pembendung Radikalisme

23 Juni 2016   10:08 Diperbarui: 23 Juni 2016   10:27 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anggota ISIS dari berbagai negara. Sumber foto: Alalam.ir

Dalam beberapa waktu terakhir, marak muncul fenomena orang-orang yang ‘menghilang’ di masyarakat. Misalnya Iskandar Sobri, Dosen Farmasi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jenderal Soedirman. Sejak tahun 2014, ia tidak kelihatan lagi batang hidungnya. Penelusuran yang dilakukan oleh pihak intelejen mendapati bahwa bahwa sang dosen sekeluarga telah menuju Suriah. Lalu ada Direktur BP Batam, Dwi Djoko Wiwoho yang menghilang sejak Agustus 2015, dan kini diduga berada di Irak. “85 persen Djoko terlibat ISIS," terang Deputi Pencegahan BNPT, Brigadir Jenderal Polisi Hamidin.

Fenomena serupa juga terjadi di belahan benua yang lain. The New York Times (9 April 2015), menuturkan kisah keluarga Syafii. Saat sedang berlibur ke Kairo, Mesir, pada musim panas 2014, tiba-tiba saja putera kesayangan Syafii menghilang dan hanya meninggalkan pesan teks bahwa “saya pergi untuk melindungi umat Islam”. Melalui campur tangan aparat kemanan, sang putera ditemukan di perbatasan Turki, yang biasa digunakan oleh militan asing untuk masuk dan bergabung dengan kelompok teroris di Suriah. Ia pun segera dipulangkan ke Amerika Serikat, namun pada tahun 2015 kembali mencoba berangkat ke Suriah, walaupun akhirnya tertangkap di bandara. Kekhawatiran adanya potensi radikalisasi dan melakukan aksi terorisme, akhirnya pemuda ini dijebloskan ke penjara.

Pemeriksaan lebih lanjut membuktikan bahwa putera Syafii tersebut memiliki semangat yang menggebu-gebu untuk “membela Islam”. Ia memuja kelompok teroris Jabhat al-Nusra, cabang Al Qaeda di Suriah. Sungguh ironis, mengingat ulama kharismatik asal Suriah, Syaikh Ramadhan al-Buthi justru gugur oleh serangan Jabhat al-Nusra ketika tengah mengajar di masjid Damaskus pada tahun 2013. Jika memang Jabhat al-Nusra gigih membela Islam, lalu mengapa mereka membunuh Syaikh Buthi, yang merupakan seorang ulama Islam?

Atas nama berjuang di jalan agama, tidak sedikit orang-orang yang rela meninggalkan negeri asalnya untuk bergabung dengan kelompok-kelompok teroris di Timur Tengah. Dr. Muhammad Luthfi, Ketua Prodi Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia, menyebut bahwa akar masalah dari gerakan radikalisme adalah sikap saling mengkafirkan (takfir) antar sesama. Muncul kelompok yang sangat ekstrem, mudah dan gegabah dalam mengkafirkan sesama Muslim tanpa mengindahkan kaidah-kaidah syariat Islam.

Berkaca pada beragam kejadian tersebut, wajar apabila timbul tanda tanya baru. Darimana orang-orang tersebut belajar dan akhirnya terpengaruh oleh ideologi radikal? Gates dan Podler mengemukakan bahwa kelompok teroris ISIS mengembangkan mesin propaganda melalui dunia maya yang terbukti efektif. ISIS merilis video dan pesan, mengklaim bahwa mereka memperjuangkan pemerintahan yang baru yang berkeadilan. Mereka melakukan kampanye masif melalui media sosial, yang ditopang dengan kemampuan linguistik dan teknik. Tujuan akhirnya adalah merekrut para pemuda dari seluruh dunia untuk bergabung bersama ISIS baik di Suriah dan Irak.

Perekrutan anggota baru sangat penting, karen kelompok ISIS sangat bergantung pada pejuang asing. The Telegraph (29/3/2016) menyebutkan, ada sekitar 27.000 hingga 33.000 orang yang berangkat ke Suriah dan Irak untuk bergabung dengan kelompok ISIS maupun kelompok teror lainnya. Sementara di Indonesia, BNPT telah memberi sinyal bahwa anak-anak dan remaja Indonesia menjadi target penyebaran ideologi radikal. Kondisi psikologi yang belum stabil dan rasa keingintahuan yang tinggi disinyalir menjadi penyebab mudahnya pengaruh paham radikal diterima anak-anak dan remaja.

Masih segar dalam ingatan ketika tahun 2015 lalu, seorang pelajar SMK di Jambi yang bernama Novaldi menyandera adiknya sendiri, lalu menyerang ayahnya, dan meminta tebusan uang sebesar Rp. 300 juta. Kuat dugaan Novaldi oleh cara-cara yang biasa dilakukan ISIS, apalagi setelah ditemukan akssoris ISIS, buku-buku bertemakan jihad serta senjata AK-56 replika di kamarnya. Tentunya menjadi tanggung jawab kita semua agar tidak muncul lagi fenomena Novaldi-novaldi yang baru.

Mike Rogers, Direktur National Security Agency Amerika Serikat merekomendasikan beberapa cara pencegahan terorisme sedari dini dari lingkungan keluarga, yaitu: (1) Kenali siapa teman-temannya. Ketika anak mulai menghabiskan waktu lebih lama dari biasanya saat bersama teman-temannya, maka orang tua harus memastikan kegiatan apa yang mereka lakukan. (2) Perhatikan perubahan rutinitasnya. Contohnya ketika anak mulai mengurung diri di kamar. Mengingat masifnya penyebaran ideologi radikal dan rekruitmen melalui media sosial, ada kemungkinan besar anak akan menghabiskan waktu yang lebih lama berselancar di dunia maya.

Orang tua wajib untuk mengamati website yang sering dikunjungi anak. (3) Perhatikan perubahan penampilannya. Hasna Aitboulahcen, bomber bunuh diri pada terorisme di Paris awalnya adalah gadis yang suka bergaya ala seorang koboy. Namun ketika ia mulai terpengaruh dengan kelompok radikal, penampilannya berubah drastis. Ia mulai mengenakan pakaian yang tertutup dan bercadar. (4). Berbicara dari hati ke hati dengan anak. Saat seseorang merasa frustasi, depresi, gelisah, dan labil, maka ia sangat mudah untuk dicuci otak atau didoktrin. Jadilah teman dan pendengar yang baik bagi anak atau saudara.

Data intelejen pada tahun 2015 menunjukkan ada 800 WNI yang telah bergabung dengan ISIS. Mereka menebar teror dan menjadikan perbedaan paham sebagai legitimasi untuk membunuh. Apakah kita membiarkan data itu terus bertambah? Semoga tidak. Karena sebagaimana pesan Ali bin Abi Thalib, “Mereka yang bukan saudaramu dalam iman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun