[caption caption="Sumber foto: www.interiorrumahkita.com"][/caption]Bisnis rumah kost adalah bisnis yang sangat menggiurkan. Dengan berinvestasi di bidang properti dengan mengelola rumah kost, dipastikan perbulannya Anda akan mendapatkan pendapatan pasif, tanpa perlu bekerja. Selain itu, nilai investasi dari rumah kost juga akan selalu naik tiap tahunnya, yang disebabkan karena semakin terbatasnya jumlah dari properti yang tersedia, sementara kebutuhan manusia akan properti semakin meningkat. Di daerah yang dekat dengan sekolah, kampus, perkantoran dan pertokoan, rumah kost menjadi sesuatu yang selalu diburu.
Dan saya adalah seorang anak kost. Sudah 2 tahun saya tinggal di Bandung, menjadi anak kost yang sering berburu dan berpindah dari rumah kost satu ke rumah kost lainnya.
Karena merasa kurang betah di tempat kost yang pertama, pada tahun 2015, saya dan Rizka (teman asal Batam) berkeliling mencari rumah kost yang lebih nyaman. Keluar masuk rumah demi rumah di bawah terik matahari yang menyengat. Akhirnya, pilihan kami mengerucut pada 2 rumah kost. Untuk selanjutnya, saya menyebut sebagai rumah kost A dan rumah kost B.
Rumah kost A adalah bangunan baru yang terletak di pinggir jalan. Sangat strategis. Dekat dengan masjid, kompleks pertokoan, dan kampus. Di seberang tempat kost, berderet penjual makanan dari pagi hingga malam hari.
Sedangkan rumah kost B sebaliknya. Letaknya  jauh masuk ke gang dan dikelilingi persawahan. Bangunannya meskipun masih kokoh, namun lumut-lumut yang menempel di tembok bagian luar bangunan, dan cat yang mulai mengelupas menandakan bahwa rumah kost ini sudah cukup tua. Satu-satunya penjual makanan yang dekat dengan lokasi rumah kost hanyalah penjual kupat tahu.
[caption caption="Sumber foto: hanifahrahmarosyida.blogspot.com"]
Tarif kost sebenarnya sama. Hanya saja, saat itu ada yang luput dari perhitungan saya.
Rumah Kost A menetapkan tarif listrik senilai Rp. 30.000 per produk elektronik yang dibawa. Saya membawa 4 produk elektronik yaitu dispenser, magic com, setrika, dan laptop. Untuk itu, saya dibebankan biaya sebesar 120.000 per bulan.
Tentu saja besarnya biaya listrik ini tidak masuk akal. Jumlah itu setara dengan biaya listrik per-bulan keluarga saya di Pekanbaru, padahal di rumah ada 4 kamar, televisi, kulkas, mesin cuci, dan berbagai macam elektronik lainnya.
Yang membuat saya keberatan atas tarif tersebut, karena saya tidak selalu menggunakan semua perkakas elektronik tersebut. Saya tidak memasak setiap hari, dan lebih sering makan di warteg. Biasanya saya hanya memasak pada akhir bulan ketika kantong sudah sangat menipis. Begitu juga dengan setrika, yang sangat jarang saya gunakan karena pakaian saya sering di-laundry. Begitu pula dengan dispenser yang hanya saya nyalakan sesekali saja. Satu-satunya yang barang elektronik yang selalu terhubung dengan listrik adalah laptop.
[caption caption="Sumber foto: pribadi"]