[caption caption="Captain Tsubasa, sumber : http://www.kaskus.co.id"][/caption]Dari sekian banyak komik Jepang, Captain Tsubasa pernah berhasil menghibur pemirsa layar kaca di Indonesia. Popularitas cerita ini menyebar luas dengan adanya game konsol seperti Play Station. Winning Eleven, game yang saat itu populer di kalangan gamers, sampai ikut meluncurkan timnas Jepang versi Tsubasa. Seperti manga Jepang pada umumnya, cerita Tsubasa menebar inspirasi dan memotivasi anak-anak pecinta sepakbola.
Setelah memenangkan kejuaraan dunia junior, diceritakan bahwa Tsubasa berhasil masuk ke klub Catalunia (Barcelona) dengan nomor punggung 28. Mirip dengan nomor jersey Martunis yang juga warisan dari Cristiano Ronaldo semasa berkarir di Sporting Lisbon. Perbedaan mendasarnya hanya satu: Tsubasa fiktif dan Martunis nyata. Beberapa hari ini, Martunis memang menjadi perbincangan hangat di media massa. Ia telah resmi menjadi bagian dari Sporting Lisbon U-19.
[caption caption="Jersey Martunis, sumber : http://www.bola.net/bolatainment/kala-martunis-menjelma-jadi-cristiano-ronaldo-72993d.html"]
Minggu lalu saya baca-baca berita, media luar negeri seperti Daily Mail ternyata juga tidak mau ketinggalan untuk memberitakan Martunis. Sebagai salah satu korban tsunami Aceh, Martunis memang menjadi ikon kebangkitan dari hadirnya rasa kemanusiaan. Saya yang dulunya kurang respek sama Cristiano Ronaldo, berubah 180 derajat dan mulai menyadari bahwa CR7 adalah pesepakbola yang peduli sesama, tidak se-arogan saat di lapangan hijau.
Kabar terbaru menyebutkan, ayah Martunis merestui anaknya untuk pindah warga negara agar menjadi pemain professional. Sebagaimana diketahui, terdapat persyaratan khusus mengenai kewarganegaraan dan izin kerja (work permit) jika seorang pemain ingin bermain di level Eropa. Pilihan ini tentu tidak mudah. Martunis akan menanggung beban psikologis dimana ia harus teramat bijak dalam mengambil keputusan penting buat masa depannya.
Pindah kewarganegaraan bukanlah hal sepele. Akan ada konsekuensi logis berupa cibiran seperti yang pernah dialami oleh penyerang Chelsea Diego Costa. Saat timnas Spanyol gagal di Piala Dunia 2014, Costa langsung menjadi bahan olok-olok di social media. Costa dicap sebagai penghianat Brazil, negara dimana ia lahir dan berkenalan dengan sepakbola. Tentu beda dengan kisah Martunis yang pernah gagal masuk ke timnas sebelum bergabung dengan Sporting Lisbon.
Sepakbola sendiri adalah olahraga tim yang memerlukan pembinaan profesional. Sporting Lisbon, walaupun tidak sepopuler big four di Premier League, tidak bisa kita pandang sebelah mata. Luis Figo, Nani dan Cristiano Ronaldo merupakan beberapa pesepakbola yang sukses dibesarkan oleh klub ini. Nama terakhir bahkan sempat menjadi pemain termahal di dunia, sebelum akhirnya dipatahkan oleh nilai transfer Gareth Bale dari Tottenham ke Real Madrid sebesar 100 juta Euro.
Momen bersejarah Martunis adalah kesempatan yang belum tentu datang dua kali. Seandainya saya di posisi Martunis, besar kemungkinan saya akan pindah jadi warga negara Portugal. Tanpa bermaksud menomorduakan nasionalisme, pilihan karir sepakbola tetap harus menggunakan logika dan akal sehat. Kalau kita bisa lebih berkembang sebagai warga negara lain, lebih baik fokus pada tujuan itu. Terlebih Martunis ingin menjadi penerus Cristiano Ronaldo.
Kata Captain Tsubasa, bola adalah teman. Kini teman itu lah yang membawa Martunis terbang jauh ke Eropa. Di usia 17, semoga ia bisa menentukan pilihan terbaiknya. Seandainya ia sukses, saya tidak akan menganggap dirinya sebagai contoh kacang yang lupa pada kulitnya. Justru sudah saatnya 'si kulit’ berintrospeksi dan berbenah diri. Karena saya percaya, masih banyak pemain muda yang perlu diberi kesempatan agar meraih impian seperti halnya Martunis dan Captain Tsubasa.
Salam Kompasiana.