Dari Komang ke Ginting ada Ayah dan Ibu yang mengintip keberanian anak anak mereka dari jendela kaca Taman Kanak-kanak dengan segudang rasa ingin tahu apa suatu hari yang akan mereka raih.  Tepuk tangan menyanyikan lagu anak-anak  kerap terdengar, tak terbayang ada bulu angsa berterbangan tergayung raket diiringi kelincahan kaki mengejar  angka demi angka  ke sana kemari. Untuk itukah kenapa Ginting terdiam sesaat tak kuasa membendung airmata saat momen itu  datang bersama Ayah dan Ibunya.
Jika seseorang bertarung atas nama Ayah dan Ibu maka itu  bukan lagi kalah dan menang jawabannya. Energi itu  menjadikannya sebagai pendekar tak mengenal lelah di lapangan. Berapa kali mereka mengantarkan dirimu siang dan malam, hujan dan badai, datang ke lapangan? Menunggu, menghitung angka, menyemangati, berdoa kepada setiap gayungan raket yang kamu letuskan ke udara. Maka bermainlah sebaik mungkin, karena itu yang mereka nantikan. Sekali lagi mereka melahirkan bukan untuk sekedar kalah dan menang, tetapi jauh tinggi dari dua kata itu.
Menyaksikan Ginting tak sanggup lagi melanjutkan kalimatnya lalu menahan tangis, semua penggemar bulutangkis pasti akan merasakan ada sesuatu tak tertahankan dalam hatinya. Sayang momen itu langsung diganggu dengan pertanyaan kepada sang pelatih. Inilah salah satu karakter bangsa yang tak mampu memberikan waktu kepada emosi. Emosi itu sastra yang memang hanya mampu dimiliki oleh orang orang terpilih. Ginting adalah orang terpilih dari sekian juta orang Indonesia. Berani mengeluarkan perasaannya di hadapan publik adalah jiwa pendekar yang punya hati selembut salju. Kenapa harus diganggu dengan pertanyaan lagi? Kenapa tidak membiarkan apa yang dirasakan Ginting sehingga semua orang merasakan apa artinya ayah dan ibu bagi karir kita semua di belantara dunia kita geluti. Sudahlah, lain rumput lain belalang.
Saya menyaksikan bagaimana anak kecil itu sudah berani diturunkan dalam ajang Porprov Bali 2015 di Buleleng Bali. Dengan pukulan masih belum mampu menerobos garis belakang, Komang Ayu Cahya Dewi hanya bisa mengejar bola ke sana ke mari dan memang itulah kelebihannya. Anak kecil itu bukan lawan seimbang dari pemain di bagian lain lapangan. Dia menjadi bulan bulanan dan kalah jauh. Momen itu memang bukan apa-apa jika tidak saja anak kecil itu lalu mampu menarik perhatian penggemar bulutangkis Indonesia, bahwa dia bisa menjuarai Nantes International Challlenge 2023, Minggu lalu. Momen pertama kali bertanding dalam kejuaraan resmi ini tentu bukan apa-apa jika tidak dengan gigih ayah ibunya mengajaknya ke seleksi beasiswa PB DJARUM.
Maka di balik pemain-pemain tangguh itu, ada kekuatan doa ayah dan ibu menyertai. Apakah kemenangan dari kami yang kalian tunggu? Tidak nak, bukan itu yang kami tunggu. Kami ingin kamu menjadi pendekar di lapangan. Kekalahan dan kemenanganmu akan terlupakan suatu hari nanti. Tetapi tidak karakter kamu di lapangan. Siapa yang akan melupakan kala Icuk Sugiarto meminjam raket Liem Swie King saat final Kejuaraan Dunia di Kopenhagen, 1983? Momen yang menyalakan tepukan bagi semoa mata yang melihat pertandingan itu. Siapa yang melupakan gaya Iie Sumirat bersemangat kala mencapai match-point saat melawan Svend Pri? Â Maka banyak orang juga tak akan melupakan bahasa tubuh tak bersemangat dan bagaimana Kevin Sanjaya membiaran servis flick Kobayashi di Singapore Open 2023. Momen yang hingga saat ini banyak orang berusaha kunyah dan tak mampu menelannya.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H