“Jika engkau seorang yang berkemampuan jadilah pedagang, namun, jika engkau setengah-setengah jadilah pegawai.” ----Shibushawa Eiichi—tokoh perubahan social Jepang antara era Shogun Tokugawa-Meiji.
Meraup untung manis dengan berbisnis, tapi buka mata lebar-lebar pasti akan ada resiko yang mesti dibayar. Itulah dunia bisnis, dunianya para pemberani, berani menghadapi konsumen, berani pula menghadapi resiko, namun pastinya berani meraup hasil maksimal dan menyebar menjadi manfaat, apalagi jika mampu menjadi socioenterpreneur..maka hasilnya..wowwww.
Hari sabtu kemarin ceritanya saya diajak sama suami ke sebuah mall, namanya Solo Paragon, kalau di Jakarta mengingatkan saya akan Pelangi (Plaza Semanggi) atau semodel FX Senayan. Di sana ternyata suami saya janjian ketemuan dengan rekan-rekannya saat kuliah dulu, karena kebetulan rekan suami saya pemilik kafe tenda pisang molen dan dawet ayu di food gardennya Solo Paragon. Makanan yang dijual sama dengan panganan di pinggir jalan, seperti pisang molen Karanganyar, pisang molen seharga tiga ratus rupiah yang pernah saya beli di Tawangmangu, yang gerobaknya seperti gerobak gorengan biasa. Dawetnya juga tak jauh beda dengan dawet-dawet pinggir jalan dengan gerobak sederhana, tapi yang membedakan adalah pengemasannya, dan penampilannya. Namun kedai milik rekan suami saya berbeda dengan yang di Tawangmangu, meski rasa mirip, tapi tempat yang membuatnya pisang molen itu berharga bukan tiga ratus rupiah.
Dulu waktu Oom saya yang lulusan Tekhnik Industri dari Universitas ternama di Surabaya punya kafe tenda di bilangan Kota Surabaya, saya sempat berpikir, Oom saya itu sarjana, untuk apa kuliah susah-susah kalau hanya jadi pedagang, coba jika tidak usah kuliah, uangnya dijadikan untuk modal dagang saja, tak perlu repot menyusun skripsi jika hanya niat jadi pedagang. Tapi lama-lama saya berpikir, entah itu second choice dari Oom saya atau entah memang proyek iseng-iseng berhadiah dengan rekan-rekannya, yang saya dengar kafe tenda itu dikelola dengan cara tak biasa. Sama dengan rekan suami saya yang usaha pisang molen di food gardennya Solo Paragon, dia berbeda, penampilan gerobaknya bukan gerobak standar seperti gerobak gorengan pinggir jalan, pengemasan pisang molen juga bukan semata pakai kertas bungkus gorengan ala kadarnya, dengan dihiasi banner di depan kedainya, dan duduk lesehan dengan meja kayu yang cukup eksentrik, bisa membuat pembeli nyaman dan ingin berlama-lama berada di sana, mungkin bukan hanya sekedar berlama-lama tapi bisa jadi tambah beli lagi.
Itulah bisnis ditangan orang-orang yang memiliki kesempatan berpendidikan lebih baik. Menjadi pedagang bukan sesuatu yang buruk, bahkan seorang Mark Zukerberg adalah pedagang, dia menjual system jejaring pertemanan yang kita nikmati sekarang, juga Sakichi Toyoda yang seorang sarjana tekhnik pun berdagang, berdagang mobil hingga mendunia, begitu juga dengan Soichiro Honda, mereka semua berdagang, permasalahan hanya mayoritas warga kita lebih senang menjadi konsumen, dan seolah memandang bahwa pedagang adalah kelas dua. Seperti mengutip kata-kata seorang psikolog, Bapak Sartono Mukadis di sebuah surat kabar, "coba saja orang Indonesia diberikan dua pilihan, ada pacul dan sempritan untuk mencari uang, kira-kira pilih mana?" dan beliau mengatakan mayoritas orang kita akan memilih sempritan yang paling mudah mendapatkan uang, memarkir mobil, tidak dengan pacul yang susah payah di tanah yang bisa jadi tidak subur.
Dulu saat saya baru lulus kuliah, saya jual buku, buku-buku keren terbitan salah satu penerbit ternama di Indonesia, dan dengan entengnya teman saya menyeringai, “jadi lo lulus sarjana cuma buat dagang aja?” dan saya waktu itu langsung mengkeret diomongin seperti itu, mendadak saya jadi rendah diri, padahal andai dulu saya tahu bahwa berdagang adalah sesuatu profesi yang mulia, sebab itu salah satu profesi Rasulullah SAW, panutan kita sepanjang masa.
Mundur ke belakang lagi, suami saya pernah mengajak saya ke daerah Wonogiri, di sana saya berjumpa dengan senior suami saya, yang lagi-lagi seorang sarjana, di tengah kesibukannya sebagai penyuluh pertanian dia juga berbisnis fotokopian dan penyewaan rental internet, lagi-lagi berdagang. Selayaknya seorang sarjana, bisnisnya dikelola dengan baik, dengan manajemen yang baik, hingga usahanya cukup besar.
Nasi kucing, kalau di Jakarta kita mengenal nama panganan itu bukan? Nasi yang dibungkus kertas dengan ukuran setengah porsi dan yang pasti tidak mengeyangkan jika makan satu bungkus, dan disajikan di atas gerobak yang kita kenal dengan sebutan angkringan dengan beragam lauk pauk yang nantinya akan dibakar kembali dengan arang yang mengepul, kalau di Jogja-Solo dikenal dengan Angkringan HIK. Dan itupun dimiliki oleh senior suami saya yang lainnya di daerah Sukuharjo, di tengah-tengah kesibukannya menjadi seorang guru di pagi hari, malamnya dia tanpa gengsi menjadi pedagang angkringan dengan rekan-rekannya, meraup keuntungan fantastis, dan angkringan yang selalu ramai dengan pengunjung, sebab angkringan tersebut tidak biasa, tidak seperti angkringan tradisional pada umumnya. Menunya beraneka, kemudian diiringi dengan pertunjukkan musik secara live seolah-olah kita sedang berada di kafe prestisius.
Masih ada lagi, junior suami saya, yang memiliki lahan pertanian buah dan sayuran, tak hanya sekedar menjual melon dengan biasa saja, tapi melon dikemas dengan papper bag tak biasa, dia sengaja memesan sebuah papper bag istimewa untuk semakin menambah keistimewaan melonnya tersebut. Alhasil, harga melon pun menjadi tak biasa, dia seorang sarjana pertanian.
Melihat fenomena seperti itu saya dan suami yang baru merintis usaha, dan memberanikan diri mengadu nasib menjadi pedagang tetap optimis, bahwa berdagang bukanlah pekerjaan orang kelas dua. Para pebisnis sukses juga diawali dengan menjadi pedagang gurem yang inovatif dan melalui pemikiran-pemikiran cerdas. Maka, tak ada istilah sarjana atau bukan, bahkan seorang professor pun tak akan masalah jika ikut meraup keuntungan di dunia perdagangan.