Praktik perkawinan usia dini menjadi isu besar bagi perempuan Indonesia. Perempuan menjadi kelas kedua yang tidak memiliki kesetaraan dalam pendidikan, politik dan ekonomi. Sehingga kasus seorang anak perempuan yang secara biologis maupun psikis belum siap menikah dan seharusnya masih mendapatkan pendidikan langsung dari orang tuanya serta bergaul dengan sebayanya kehilangan momen tersebut disebabkan perkawinan yang terlalu dini. Merespon maraknya perkawinan usia dini, maka pemerintah didesak membentuk undang-undang yang bersifat unifikasi bagi semua golongan dan setelah melewati proses panjang lahirlah UU No.  1  Tahun  1974. Salah satu ketentuan tentang batas minimal usia perkawinan yang  ditetapkan dalam pasal 7 ayat 1 dan 2 yang berbunyi:  Pasal  7  ayat  1  "perkawinan  hanya  diizinkan  jika  pihak  pria  sudah  mencapai  umur  19  tahun  dan  pihak  wanita sudah mencapai umur 16 tahun". Pasal 7 ayat 2 "dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak wanita". Usia  yang  ditetapkan  dalam  UU  No  1  Tahun  1974 dan tidak  sejalan  dengan  Undang-undang  Nomor  35  Tahun  2014  sebagai  perubahan  dari  Undang-undang  Nomor  23  Tahun 2002  tentang  perlindungan  anak.  Pasal  1  undang-undang  perlindungan  anak  disebutkan  anak  adalah  seseorang  yang  belum berusia  18  (delapan  belas)  tahun,  termasuk  anak  yang  masih  dalam  kandungan.  Sehingga  Pasal  7  ayat  1  UUP melanggar  UU Perlindungan  anak.  Mahkamah  Konstitusi  telah  melakukan  uji  materi  pasal  7  ayat  (1)  sebanyak dua kali dan pada judicial review yang kedua Mahkamah Konstitusi menerima permohonan Nomor 22/PUU-XV/2017  dengan  dalil  pemohon  adanya  diskriminatif terhadap  penetapan  batas  minimal laki-laki dan perempuan. Keputusan Mahkamah Konstitusi dengan dikabulkannya permohonan Nomor  22/PUU-XV/2017  menjadi  dasar  pembaharuan  dan  perubahan  UU  Nomor 1 Tahun 1974 setelah 45 tahun tidak mengalami perubahan. Pada tanggal 14 Oktober 2019 Presiden Joko Widodo mengesahkan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Pasal 7 ayat (1) berdasarkan UU Nomor 16 Tahun 2019 berubah menjadi, "perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembian belas) tahun".
Faktor  yang  menjadi  pertimbangan  diajukannya  perubahan  batas  usia  perkawinan diantaranya, batas usia 16 tahun bagi perempuan masih dikategorikan sebagai perkawinan  anak  yang  melanggar  ketentuan  dalam  Undang-undang  Perlindungan  Anak, akibat dari perkawinan tersebut adalah jaminan hak konstitusional untuk diperlakukan sama di depan hukum tidak tercapai (equality before the law). Hak atas pendidikan, hak kesehatan, hak  untuk  tumbuh  kembang  yang  telah  dijamin  dalam  UUD  1945  akan terhambat  pula  dengan adanya perkawinan anak.Â
Perbedaan  batas  usia  perkawinan  antara  laki-laki  dan  perempuan  bentuk  nyata  diskriminasi yang bertentangan dengan konstitusi Negara Republik Indonesia dan instrumen hukum Internasional Hak Asasi Manusia yang mana segala bentuk pembedaan, pembatasan, dan tidak memasukan atau exclusion yang didasarkan pada ras, warna kulit, kelamin, bahasa, agama, pandangan politik, asal sosial dan kepemilikan status lain. Banyaknya permohonan dispensasi perkawinan yang diajukan ke pengadilan dan diizinkan oleh Pengadilan, hal ini sama dengan pemerintah tidak memberikan perlindungan terhadap anak perempuan yang semestinya masih memiliki hak pendidikan, hak kesehatan dan hak tumbuh kembang yang telah dijamin oleh UUD 1945. Pertimbangan  putusan  Mahkamah  Konstitusi  dalam  menetapkan  perubahan  usia  perkawinan  bagi  perempuan  yaitu  menghapus tidak  tercapainya  persamaan  kedudukan  di  dalam  hukum  yang  didasarkan  pada  perbedaan  jenis  kelamin. Â
Pembedaan  usia  antara  laki-laki  dan  perempuan  tidak  ditetapkan  dengan  dasar  ilmiah  namun  anggapan  mitos  perempuan lebih  cepat  dewasa  dibandingkan  laki-laki.  Hak-hak  lain  yang  akan  terhambat  pemenuhannya adalah hak kesehatan yang dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, dan lebih spesifik diatur dalam UU Perlindungan Anak. Dari sudut pandang kesehatan usia 16 tahun  sangat  rentan  dan  beresiko  bagi  kesehatan  reproduksi  perempuan,  resiko  lain  yaitu  kebutuhan  nutrisi  dan  gizi yang  tinggi  dapat  mengakibatkan  persaingan  dan  perebutan  nutrisi dan gizi antara si ibu dan janin yang masih dalam kandungan. Pertimbangan  lain  dalam  perubahan  usia  perkawinan  yaitu  tidak  terpenuhinya  hak  pendidikan, realitanya anak perempuan yang menikah di usia muda maka semakin rendah tingkat pendidikan yang ditempuh oleh anak tersebut. Anak perempuan yang menikah di usia 16 tahun tidak mendapatkan hak-hak konstitusionalnya mendapat pendidikan sesuai sistem pendidikan nasional di Indonesia wajib belajar 12 tahun. Masalah lain yang timbul seperti peran perempuan dalam relasi keluarga yang bisa saja mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan seksual, poligami dan tindakan diskriminasi lainnya. Oleh karena itu, perubahan usia perkawinan dari 16 tahun menjadi 19 tahun adalah bentuk penghapusan diskriminasi  terhadap  perempuan  dan  menjamin tercapainya  hak-hak  konstitusional  yang  meliputi  persamaan  kedudukan  di  depan  hukum  (equality  before  the  law),  hak pendidikan  dan hak kesehatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H