Angpau atau salam tempel yang diberikan saat Hari Raya Idul Fitri secara tidak langsung menjadi tradisi yang telah berlangsung lama dan diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Namun, dari mana asal mula kebiasaan memberikan angpau ini muncul?
Menurut Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga (Unair), Moordiati mengatakan tidak ada catatan sejarah khusus mengenai angpau Lebaran. Namun, ada cerita yang beredar bahwa seorang kaisar pernah datang ke Jawa dan memberikan uang sebagai tanda tali asih. Kebiasaan ini kemudian berkembang dari waktu ke waktu dan diadopsi menjadi tradisi bagi orang yang lebih tua memberi kepada yang lebih muda sebagai tanda kasih sayang. Moordiati juga menambahkan bahwa pemberian angpau saat Lebaran sebenarnya merupakan hasil dari perpaduan budaya Islam dan Tionghoa. Ini adalah akulturasi yang terus berkembang hingga saat ini.
Pemberian angpau Lebaran memiliki makna yang mendalam. Tradisi ini bukan hanya tentang memberikan uang, tetapi juga mengandung nilai-nilai sosial dan budaya. Dalam konteks Lebaran, angpau menjadi simbol kasih sayang, penghormatan, dan silaturahmi antara generasi yang lebih tua dan lebih muda. Meskipun tidak ada arahan agama secara khusus mengenai pemberian angpau saat Idul Fitri, namun tradisi ini terus berlanjut dan menjadi bagian dari perayaan Lebaran yang kita kenal sekarang. Jadi, angpau Lebaran adalah hasil dari perpaduan budaya dan nilai-nilai kasih sayang yang terus diperkaya oleh generasi kita.
Penandaan Pemberian angpau identik dengan uang baru didalamnya, dimana terdapat beberapa alasan historis dan praktis mengapa uang angpau Lebaran biasanya harus uang baru. Pertama, dalam konteks sejarah, uang baru sering dianggap sebagai simbol kesucian, kebersihan, dan keberkahan untuk dimasukkan ke dalam angpau. Hal ini juga mencerminkan tradisi memberikan yang terbaik kepada orang lain pada saat momen istimewa seperti Lebaran. Selain itu, secara praktis, uang baru memastikan bahwa penerima angpau merasa dihargai dan mendapatkan sesuatu yang spesial dan bersih untuk memulai perayaan Lebaran dengan baik. Oleh karena itu, keberadaan uang baru dalam angpau Lebaran bukan hanya sekadar pemberian, melainkan juga memiliki makna simbolis dan praktis yang dalam konteks budaya masyarakat.
Sisi Lain
Secara hukum, tidak ada peraturan tertulis yang mewajibkan pemberian angpau Lebaran. Tradisi ini murni berdasarkan kebiasaan dan norma sosial yang berkembang di masyarakat. Tradisi pemberian angpau lebaran, meskipun membawa keceriaan dan kebersamaan, di sisi lain dapat memicu tekanan sosial bagi beberapa pihak. Tekanan ini muncul karena anggapan bahwa memberi angpau merupakan suatu keharusan sehingga seakan-akan standar merayakan lebaran yakni memberikan angpau kepada orang terdekat maupun sanak saudara bukan semata-mata berbagi kebahagiaan.
Pertama, ekspektasi masyarakat terhadap pemberian angpau dapat menjadi beban bagi pemberi. Bagi mereka yang memiliki keterbatasan finansial, tuntutan untuk memberi angpau dalam jumlah tertentu dapat menimbulkan kecemasan dan rasa terbebani. Hal ini dapat memicu perbandingan sosial dan kecemburuan di antara individu. Kedua, anggapan bahwa jumlah angpau mencerminkan status sosial dan ekonomi pemberi dapat memperparah kesenjangan sosial. Bagi mereka yang kurang mampu, tekanan untuk memberi angpau dalam jumlah besar dapat mendorong mereka untuk berhutang atau mengeluarkan uang di luar kemampuan mereka. Hal ini dapat berakibat pada kesulitan finansial dan memperparah kesenjangan yang ada. Ketiga, tradisi ini dapat menjadi ajang pamer dan materialisme bagi sebagian orang. Fokus tertuju pada jumlah dan jenis angpau yang diberikan, bukan pada makna berbagi dan kebersamaan di balik tradisi ini. Hal ini dapat menggeser nilai-nilai luhur lebaran dan memicu kecemburuan sosial.
Dalam perspektif hukum adat, pemberian angpau Lebaran dapat diinterpretasikan sebagai bentuk keterpaksaan sosial yang mungkin terjadi dalam beberapa situasi. Ini disebabkan oleh tekanan budaya dan sosial yang melekat dalam tradisi tersebut. Dalam beberapa kelompok muncul adanya harapan yang kuat untuk memberikan angpau kepada anggota keluarga, kerabat, dan tetangga sebagai bagian dari norma sosial yang dijunjung tinggi. Hal ini bisa menciptakan perasaan wajib dan keterpaksaan bagi individu untuk memenuhi ekspektasi sosial tersebut, terlepas dari kemampuan finansial atau keinginan pribadi mereka. Dalam hal ini, meskipun pemberian angpau seharusnya bersifat sukarela dan berdasarkan kehendak baik, namun adanya tekanan sosial dapat mengubah dinamika menjadi lebih kaku dan menimbulkan rasa kewajiban yang tidak dapat diabaikan. Maka dari itu pemahaman terhadap pemberian angpau lebaran harus menimbulkan adanya nilai-nilai positif seperti kebersamaan dan saling peduli, dengan tanpa keterpaksaan sosial juga perlu diperhatikan dalam konteks budaya dan hukum adat.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pemberian angpau Lebaran yang menimbulkan keterpaksaan merupakan sikap yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar hukum adat. Tradisi ini harus dilandasi dengan keikhlasan, tanpa paksaan, dan mengedepankan nilai-nilai gotong royong dan solidaritas. Masyarakat perlu mengevaluasi tradisi ini dan menyesuaikannya dengan kondisi sosial yang ada, sehingga dapat tercapai kedinamisan dalam bermasyarakat. Kearifan lokal dan adaptasi perlu diterapkan agar tradisi angpau dapat mencerminkan nilai-nilai positif dan memperkuat rasa persatuan dan kesatuan dalam masyarakat.
Oleh karena itu, pentingnya menyikapi tradisi pemberian angpau dengan bijak. Dimana kita perlu memahami bahwa esensi lebaran adalah tentang berbagi kebahagiaan dan mempererat tali silaturahmi, bukan tentang jumlah atau jenis angpau yang diberikan. Tradisi pemberian angpau Lebaran tidak boleh menjadi beban dan tekanan bagi individu. Tradisi ini harus dilandasi dengan keikhlasan dan tanpa paksaan. Masyarakat perlu mengedepankan nilai-nilai toleransi dan saling pengertian agar tradisi ini dapat dinikmati oleh semua pihak dengan penuh kebahagiaan. Maka dari itu marilah kita ubah paradigma bahwa angpau adalah keharusan menjadi pilihan. Kita perlu mengedepankan nilai-nilai gotong royong dan saling pengertian dalam tradisi ini, sehingga makna kebersamaan dan kasih sayang di Hari Raya Idul Fitri dapat benar-benar terwujud.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H