Kita tentu tahu di sekitar lingkungan kita atau melalui media massa pun kita pernah melihat koruptor yang memakai dasi rapi, jas mahal dan celana produk yang super mewah berjalan gontai, lalu melambaikan tangan ke arah kamerawan atau reporter. Dia juga menunjukkan raut wajahnya yang semringah. Wah tersenyum, tertawa ke sana-sini. Ah, betapa seperti model artis saja bukan? Namun dia adalah tersangka bahkan sudah ditetapkan sejak lama. Betapa bejatnya moralnya namun ia berusaha tampi seperti tidak ada kesalahan dengan tertawa kecil atau tersenyum. Tidak ada sesalkah di hati mereka? Para penjerat rakyat itu? Para tikus-tikus yang jahanam itu?
Lalu, mengapa terdapat kasus di masyarakat kita yang hanya ingin makan singkong saja , lalu mencuri singkong tetangga, bahkan tega tetangga itu menuntut ke ranah hukum. Dan kasus pembegalan atau pencopet yang sedang beraksi kemudian kepergok, lalu dia lantas dihajar habis-habisan hingga babak belur, bahkan tak sedikit yang berujung kematian. Ini memang sudah menjadi realita.
Pelaku korupsi atau penyuapan yang memangsa korbannya, yakni rakyat Indonesia sendiri, yang merugikan negara hingga milyaran, bahkan triliyunan rupiah mengapa tidak dibakar saja atau di gantung di Monas? Atau dieksekuti mati? Dan hukuma apa yang setimpal untuk para koruptor di negeri ini?
Meskipun sudah ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta beberapa lembaga anti korupsi lainnya, namun anehnya kasus korupsi masih tetap ada. Tak dapat dipungkiri hidup di dalam era globalisasi seperti saat ini menantang diri kita untuk segera mendapatkan apa yang kita inginkan dengan secepatnya. Orang dengan mudah memanjakan diri dengan teknologi. Banyak mereka yang serba ingin instan, tetapi tidak banyak dari mereka yang ingin bersungguh-sungguh mendapatkan hasil yang maksimal dari jerih payahnya sendiri yang halal. Haruskah mereka menjadi penjahat besar bagi negara kita? Tak jarang berbagai cara mereka gunakan, mulai dari cara yang instan, biasa, hingga cara yang rumit sekalipun, termasuk korupsi. Dengan mudahnya mereka menjadi hama dalam masyarakat. Ya, koruptor-koruptor yang bermegah-megahan tidak punya hati terhadap kondisi suadara-saudar mereka yang kini tengah tergusur dan lapar. Butakah parah koruptor itu? Tulikah para koruptor itu? dan Bisukah para koruptor itu sampai-sampai mereka tidak dapat melihat, mendengar sekaligus merasakan penderitaan yang masih dirasakan oleh saudara-saudara kita sebangsa setanah air?
Korupsi. Ya, korupsi. Hal yang dilandasi oleh alasan bahwa praktik tindak korupsi lebih mudah, karena tidak perlu berusaha keras mengeluarkan tenaga dan pemikiran layaknya yang orang lain lakukan. Namun pernahkah terpikir apakah cara yang dipilih tadi sudah benar? Sudahkah praktik tersebut sesuai dengan aturan hukum di Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945? dan Sudah sesuaikah dengan norma agama yang menunjukkan Indonesia sebagai Negara berketuhanan? Apakah pranata sosial di masyarakat juga membenarkan hal ini?
Dalam hal ini, perlu dikupas lebih tajam bahwa korupsi sebagai tindak pidana nyata, dapat menggelapkan mata manusia. Bagaimana pun melakukan korupsi sama halnya dengan melakukan penipuan yang merugikan banyak pihak. Tidak hanya pelaku saja, melainkan orang lain juga kena imbasnya.
Pendidikan sebagai pencetak pemikir besar, termasuk koruptor sebenarnya merupakan aspek awal yang dapat merubah seseorang menjadi koruptor atau tidak. Pendidikan merupakan salah satu tonggak kehidupan masyarakat demokrasi yang madani, sudah sepantasnya mempunyai andil dalam hal pencegahan korupsi. Salah satu yang bisa menjadi gagasan baik dalam kasus korupsi ini adalah penerapan anti korupsi dalam pendidikan karakter bangsa di Indonesia.
Pendidikan anti korupsi sesungguhnya sangat penting untuk digalakkan guna mencegah tindak pidana korupsi. Jika KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan beberapa instansi korupsi lainnya mengusut dan menyiduk para koruptor, maka pendidikan anti korupsi juga penting guna mencegah terjadinya kriminalitas, terutama korupsi. Langkah ini diambil karena pendidikan anti korupsi memiliki nilai penting guna mencegah aksi korupsi. Satu hal yang pasti, korupsi bukanlah selalu terkait dengan korupsi uang. Namun sisi korupsi dapat merambah dalam segala hal bidang kehidupan. Pendidikan dan pembudayaan anti korupsi akan masuk kekurikulum pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi mulai tahun 2012.
Pendidikan anti korupsi harus dilakukan segera dan dapat dimulai dari lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat. Keluarga yang merupakan lembaga pendidikan yang utama dan pertama dalam agen sosialisasi dapat menerapkan tindak preventif korupsi dengan ajaran akhlak baik dari hal yang kecil, pengenalan agama yang berkelanjutan, serta cara-cara parental learning lainnya yang mendidik untuk berusaha keras sebelum mencapai apa yang diinginkan. Dengan cara ini maka seorang anak akan terbina, terdidik, dan terbimbing untuk sesuai dengan norma dan agama sehingga ia tidak akan menyimpang ke jalan yang sesat atau melanggar norma dan agama itu sendiri.
Selain di rumah yang terdapat orang tua sebagai pemimpin arah akhlak buah hatinya, di sekolah pun, sebagai lembaga formal yang memainkan peranan penting dapat menerapkan pendidikan karakter yang terlepas dari lingkungan keluarga. Untuk menerapkan bimbingan dan pengajaran yang baik, benar dan professional dalam hal mendidik, maka sudah seharusnya lembaga formal seperti sekolah ini menjaga elektabilitasnya, yakni mampu melahirkan kurikulum baru bagi bangsa Indonesia. Sekolah sebagai agen sosialisasi kedua setelah keluarga sebaiknya menerapkan dua aspek penting dalam pembelajaran yakni, menciptakan dua bidang studi, yaitu pendidikan kewarganegaraan dan agama. Melalui hal inilah siswa dapat merefleksikan nilai-nilai yang benar yang terkandung dalam ajaran agama maupun berdasarkan nilai yang bersumber dari pancasila dan undang-undang dasar negara Republik Indonesia tahun 1945. Sehingga siswa akan lebih memahami, lalu dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Harapan besarnya siswa tidak akan menuju kepada jalan keburukan karena telah dibimbing oleh guru ketika siswa tersebut berada di sekolah.
Selain dalam lingkungan keluarga dan sekolah, pendidikan anti korupsi itu juga harus digalakkan di lingkungan masyarakat yang juga mempunyai andil dalam pendidikan informal tentu bisa menerapkan pembelajaran anti korupsi. Hal ini dengan adanya adat kebiasaan yang hidup, sistem hukuman dari masyarakat yang menyebabkan rasa malu dan dikucilkan bagi seseorang yang melanggar aturan. Ini dilakukan sebagai tindakan untuk menumbuhkan dan mampu membedakan mana yang baik dan buruk, mana nilai yang positi dan negatid dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Jadi, peran keluarga, sekolah dan masyarakat saling harus berkaitan layaknya sebuah segitiga. Hubungan keluarga dengan sekolah, sekolah dengan masyarakat dan masyarakat kembali kepada keluarga lagi merupakan serangkaian hubungan yang harus berjalan dialogis, interkonektif dan komunikatif demi terciptanya generasi penerus bangsa yang anti korupsi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H