Mahkamah Konstitusi dalam hal pengujian open legal policy kerapkali menahan diri atau menerapkan asas judicial restraint. Meskipun begitu, dalam problematika ini seharusnya Mahkamah Konstitusi tidak menahan diri dari untuk menguji Pasal 31A ayat (4) Undang-Undang Mahkamah Agung. Atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XIII/2015 dan Nomor 85/PUUXVI/2018, nyatanya justru memiliki implikasi yang tidak baik bagi para pencari keadilan (justiciable).
Inti permasalahan ini, pertama, adalah hilangnya kesempatan untuk mengutarakan gagasan selama peninjauan. Hal ini telah dijelaskan pada komentar sebelumnya. Saldi Isra dalam penentangannya terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUUXVI/2018 menjelaskan, proses pengujian adalah proses memeriksa tuntutan, permasalahan, keberatan, penjelasan dan pembuktian. Tentu saja, semua hal ini tidak dapat dicapai dalam proses pengujian tertutup. Hal ini dibandingkan dengan asas audi et alteram partem yang menyatakan bahwa proses peradilan harus didengarkan oleh kedua belah pihak. Prinsip ini seolaholah memindahkan ruang antar pihak. Namun, melakukan peninjauan kembali secara terpisah akan mengesampingkan hak para pihak.
Kedua, Undang -- Undang telah kehilangan legitimasinyakarena para pihak tidak mengetahui akan bertindak, Harahab mengatakan, proses keadilan yang mengekpos para pihak dan terbuka untuk umum dimaksudkan untuk menghindari proses peradilan yang tidak jelas dan rahasia. Tidak mungkin meninggalkan kelompok  yang tidak tahu cara mengelola pekerjaan. Selain itu, Ketika gossip dipersidangan, maka seluruh jaminan hukum dirampas dari persidangan. Alhasil, ada kekhawatiran muncul dugaan pilih kasih dari  pihak swasta, sementara penyidikan masih senyap.
Ketiga, perlakuan yang tidak sama di depan hukum. Dibandingkan dengan proses judicial review di Mahkamah Konstitusi dilaksanakan secara terbuka dan diperkenankan keikutsertaan serta keterlibatan para pihak. Hal ini berbeda dengan judicial review di Mahkamah Agung.Â
Akibatnya, ada perlakuan yang tidak sama antara para pihak dalam judicial review di Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Selain itu, perlu dicermati bagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-XV/2017 yang menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan antara kewenangan Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung dalam judicial review.Â
Kedua kewenangan tersebut adalah original jurisdiction atau kewenangan asli yang berasal dari UUD NRI 1945. Meskipun berbeda objek pengujian, namun memiliki esensi dan substansi yang sama terkait dengan judicial review. Disparitas pemahaman ini sejatinya dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya
Selain itu, para pihak di Mahkamah Agung diperlakukan secara berbeda dari Mahkamah Konstitusi, di mana di Mahkamah Agung tidak diikutsertakan dan dilibatkan dalam proses judicial review sebagaimana di Mahkamah Konstitusi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H