Pemberlakuan asas retroaktif dalam argumentasi hukum menurut saya tidak dapat diterapkan pada argumentasi hukum, karena Argumentasi hukum merupakan kegiatan untuk mencari dasar hukum yang terdapat di dalam suatu peristiwa hukum, menerapkan dalam peraturan hukum yang ada, dan pengertian dari argumentasi hukum itu sendiri dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu:
- Mencari substansi hukum untuk diterapkan dalam masalah yang sedang terjadi.
- Argumentasi dari substansi hukum yang ada untuk diterapkan terhadap putusan yang harus diambil, atas perkara yang terjadi.
- Argumentasi mengenai putusan yang harus diambil oleh hakim dalam suatu perkara dengan mempertimbangkan semua aspek.
Terdapat 2 (dua) macam model argumentasi hukum antara lain:
- Systemic legal reasoning, yakni kegiatan yang bercorak normatif, yang dibangun di atas sistem penalaran hukum, dan mengandung unsur rasionalisme, positivisme hukum apriori, analisa, deduksi, koherensi, penelitian hukum normatif, dan berpikir sistemik.
- Critical legal reasoning, yakni kegiatan yang unsurnya terdiri dari empirisme, historikal, yurisprudensi, aposteriori, sintesa, induksi, korespondensi, penelitian hukum sosiologis dan berpikir kritis.
- Sedangkan Asas Retroaktif dapat diartikan pemberlakuan peraturan perundang-undangan lebih awal daripada saat pengundangannya. Pemberlakuan peraturan perundang-undangan pada hakekatnya berlaku pada saat pengundangan, dalam artian setiap norma yang terkandung dalam peraturan baik itu memerintahkan maupun melarang atau jenis lainnya sudah berlaku mulai dari saat peraturan tersebut diundangkan. Apabila asas Retroaktif ini diberlakukan dalam suatu suatu peraturan maka harus ada alasan yang kuat kenapa harus diberlakukan sebelum tanggal pengundangannya, tanpa alasan yang kuat tentu berlaku surut tersebut justru dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan menjadi alat kesewenang-wenangan. Akan tetapi pemberlakuan surut bisa diterapkan dalam peraturan kecuali ketentuan pidana dan pembebanan konkret kepada masyarakat, namun untuk peraturan yang berlaku surut harus memuat status dari tindakan hukum yang terjadi atau hubungan hukum yang ada dalam tenggang waktu antara tanggal berlaku surut dan tanggal berlakunya peraturan tersebut.
Sebaliknya argumentasi hukum dapat menerapkan asas Non Retroaktif karena Asas non-retroaktif adalah asas yang mengandung arti suatu peraturan perundang-undangan tidak dapat diberlakukan surut. Sebab, ada hal yang tidak boleh disimpangi dalam keadaan apa pun. Antara lain hak untuk tidak dituntut oleh aturan yang berlaku belakangan. Karena setiap produk perundang-undangan, berlaku sejak diundangkan.
Artinya, larangan pemberlakuan peraturan perundang-undangan yang berlaku surut merupakan wujud sebuah perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun juga dan oleh siapa pun juga. Termasuk lembaga eksekutif, yudikatif, maupun legislatif.
Hak-hak berupa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, tidak boleh dikurangi dalam keadaan apa pun.
pemberlakuan terhadap asas non-retroaktif ini tergambar dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP, yang berbunyi:
"Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya."
Demikian juga dalam terdapat pengecualian sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM). Penjelasan ketentuan Pasal 4 UU HAM menyebutkan:
"Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan."
Dengan demikian, setiap produk perundang-undangan yang dibuat dan diundangkan, tidak boleh belaku surut. Namun, ada pengecualian-pengecualian, yang juga harus tertuang dalam ketentuan dimaksud. Sehingga hak-hak untuk tidak dituntut dengan peraturan yang berlaku surut dapat terjamin.
Pengecualian sebagaimana dimaksud di atas, yang juga dituangkan dalam ketentuan misalnya ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP dan pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM.