Mohon tunggu...
putri UTAMI
putri UTAMI Mohon Tunggu... Guru - Guru

seorang pendidik berdedikasi dengan pengalaman lebih dari 10 tahun mengajar di bidang Produk Kreatif dan Kewirausahaan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Saya memiliki passion dalam membimbing siswa untuk mengembangkan keterampilan kreatif dan kemampuan berwirausaha yang berdaya saing.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengajar Ikhlas dan Tetap Berprestasi

27 September 2024   17:10 Diperbarui: 27 September 2024   17:14 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bayangkan seorang guru yang datang ke kelas setiap hari dengan senyum hangat dan semangat tinggi. Dia nggak cuma hadir untuk mengajar materi pelajaran, tapi juga untuk benar-benar mendampingi setiap siswanya dalam proses belajar. Terkadang, ada murid yang lambat memahami pelajaran, ada yang malas-malasan, atau bahkan ada yang suka bikin ulah di kelas. Tapi, si guru tetap sabar. Dia paham bahwa setiap siswa punya cara belajar yang beda-beda. Baginya, mengajar adalah tentang memberi---tanpa hitung-hitungan, tanpa berharap pujian. Itulah yang namanya ikhlas.

Meski begitu, bukan berarti ikhlas itu nggak bisa sejalan dengan prestasi. Siapa bilang guru yang ikhlas nggak boleh punya ambisi? Justru dengan ikhlas, seorang guru bisa lebih fokus pada tujuan utamanya: membantu siswa tumbuh dan berkembang. Setiap kali melihat siswanya paham pelajaran, setiap kali melihat ada yang berhasil meraih mimpi, di situlah letak prestasinya. Dan itu nggak bisa diukur hanya dari sertifikat atau piala, tapi dari perubahan nyata di hidup anak-anak yang mereka ajar.

Tapi, guru juga manusia. Mereka butuh terus belajar dan berkembang. Mau nggak mau, dunia pendidikan terus berubah, dan guru yang hebat adalah mereka yang selalu upgrade diri. Ikut pelatihan, baca buku, atau sekadar ngobrol sama rekan sejawat untuk saling bertukar pikiran. Semua itu dilakukan demi satu tujuan: jadi guru yang lebih baik, biar bisa kasih yang terbaik buat siswa. Jadi, meskipun ikhlas, guru juga harus berprestasi, tapi dengan cara yang tulus.

Ada kalanya, guru harus bisa jaga keseimbangan. Nggak mudah memang, antara pengabdian untuk siswa dan pencapaian pribadi. Tapi bukan berarti dua hal itu bertolak belakang. Justru, dengan menyeimbangkan keduanya, guru bisa jadi pribadi yang lebih utuh. Tetap berambisi untuk maju, tapi dengan niat yang lurus: demi masa depan siswa dan juga kebanggaan diri sebagai pendidik.

Pada akhirnya, mengajar dengan ikhlas dan tetap berprestasi itu kayak sebuah perjalanan. Ada jatuh bangunnya, tapi semuanya terasa lebih bermakna ketika dilakukan dengan hati. Ketika guru bisa memberikan yang terbaik tanpa pamrih, prestasi itu datang dengan sendirinya. Dan yang paling penting, kebahagiaan sejati itu muncul saat melihat siswa berhasil, dan sadar kalau kita punya andil di balik itu semua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun