Mohon tunggu...
Putri Umami Siagian
Putri Umami Siagian Mohon Tunggu... Administrasi - Alumni Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Medan, Domisili Medan

Alumni Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Medan, peminat sejarah sastra dan perkebunan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berkhayal Kematian Demi Kepuasan Diri?

9 Desember 2019   13:31 Diperbarui: 27 Desember 2019   17:54 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berkhayal Kematian Demi Kepuasan Diri?

Pernahkah kamu mengalami perasaan tidak enak selama sehari? Atau pernahkah kamu marah hingga tercetus keinginan untuk mati? Atau mungkin cuma sebatas khayalan belaka.

Aku, sejak kecil hampir setiap hari membentuk khayalan bertema kematian, untuk diriku sendiri. Biasanya yang demikian itu, adalah agenda sebelum tidurku. Hampir setiap hari, ada saja hal yang membuatku tertekan, bahkan hal kecil sekalipun (sebenarnya bukan hal kecil aku terbiasa dimanfaatkan orang lain karena sikapku yang lembek). 

Kadang aku berkhayal demikian bukan dipicu oleh sesuatu yang membuatku tertekan, ini lebih mengejutkan lagi. Aku berkhayal untuk memuaskan keinginanku saja, aku memang merasa merinding jika berkhayal kematian, tapi di satu sisi aku mengalami sebuah kesenangan yang tidak bisa kujelaskan. 

Dalam agama Islam atau bahkan agama lain juga menganjurkan kita untuk mengingat kematian supaya lebih dekat kepada Sang Pencipta dan terhindar dari perbuatan yang melanggar aturan agama. Tapi jika dilakukan hampir setiap waktu dengan orientasi hanya untuk diri sendiri, bukankah itu aneh? Apakah hal itu merupakan gejala depresi? Atau didikan keluarga kah yang membuat aku begini?

Pernah, beberapa kali aku mencari persoalan ini, berselancar dan wara-wiri di internet. Tapi tak kunjung solusi bagi orang yang mengalami hal serupa, atau barangkali penjelasan dari perspektif psikologi dan agama. Mungkin saja, aku yang kurang getol mencari ya. Hehehe. Atau bahkan, ada yang serupa denganku namun enggan untuk mengungkapkannya kepada dunia?

Aku paham, ini memang sebuah aib, tapi di era yang penuh dengan tekanan ini, berpikir terbuka aku rasa perlu, walau dengan tulisan anonim sekalipun.

Yaahh ! Aku, hanya ingin bercerita saja. Ingin mencari teman berbagi masalah yang sama, dengan harapan bisa mencari solusi, di samping bertafakur kepada Sang Maha Pemberi Kehidupan. Allah, maafkan aku, sekiranya kebiasaan itu memang salah. (P.U Siagian, 24 November 2019).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun