Mohon tunggu...
Putri Umami Siagian
Putri Umami Siagian Mohon Tunggu... Administrasi - Alumni Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Medan, Domisili Medan

Alumni Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Medan, peminat sejarah sastra dan perkebunan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menafsir Kecemasan Introvert

23 Agustus 2019   12:38 Diperbarui: 23 Agustus 2019   12:41 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kutatap matanya sesekali, sembari melempar senyum. 

Jangankan membalas senyum, menoleh pun tidak. 

Anak-anak tak akan mungkin mengerti kalau diperlalukan begitu, hehehe.

Mungkin sebagian besar orang senang dan gemas melihat wajah dan tingkah lucu bayi atau anak kecil, sangking gemasnya mereka tak sungkan mendaratkan serangan "unyel-unyel" di pipi, atau di bok*ng. Selain itu, kita dapat melihat cukup banyak khalayak yang memajang foto-foto anak-anak di media sosial, entah anak siapapun yang menurut mereka lucu. 

Sedangkan saya, hampir 99% berbanding terbalik dari orang-orang seperti biasanya. Bahkan saat SMP, ketika adik saya masih bayi, saya kerap ditegur orang tua karena terkesan cuek, sebab saya cuma bisa menatap wajahnya sambil tersenyum tipis sangking kaku dan canggungnya terhadap anak kecil. Tak hanya itu, ketika melihat ada anak kecil menatap sambil meracau terbata-bata saya cuma bisa tersenyum kikuk, tak tahu harus apa. Kalau sama hewan kesukaan saya, mungkin saya akan bersikap kurang lebih seperti orang-orang yang menghadapi anak kecil tadi, mengajak bicara si Empus alias Kucing, atau mengunyel-unyel makhluk malang itu sambil sampai menjerit- jerit sangking gemasnya, Hehehe.

Jadi, apakah saya tidak normal?

Bertahun-tahun saya merenungi hal ini, orang-orang yang mengenal saya, tentu menilai saya sebagai pribadi yang pendiam, pemalu, dan susah bergaul, sampai saat SMA saya mengetahui bahwa saya adalah seorang introvert. Lalu, saat kuliah seingat saya di semester 6 saya mencoba menelusuri mengapa saya terlalu kaku kepada anak kecil. Saya mencoba untuk berdiskusi lewat DM Instagram dengan akun seorang pakar introvert (maaf kalau salah) bernama @sendysaga. Kira-kira seperti ini kutipan chatting saya dengan beliau. 

Saya : Hai kak Sendy,. Boleh nanya-nanya dan Sharing tentang masalah introvert ga Kak? Hehe

Kak Sendy : Halo Kak....Waaa iyaa boleh Kak...kalau mungkin Sendy bisa bantu jawab :"))

Saya : Terimakasih ya kak, Saya mau tanya Kak, apakah seorang introvert itu memang cenderung tdk bisa mengekspresikan rasa gemas nya terhadap anak kecil? Dari dulu saya merasa aneh dgn diri saya ini Kak. Ketika ada anak kecil saya terlalu canggung menghadapi nya, bahkan hanya sekedar "ci Luk ba" saja saya tdk bisa kak. Dan saya lebih bisa mengekspresikan rasa gemas dan suka terhadap hewan daripada anak kecil. Apakah saya sendiri yg punya sifat aneh atau memang itu normalnya sikap yg dimiliki seorg introvert? Maaf atas pertanyaan saya yg panjang ini Kak.. hehe

KakSendy : Sendy juga merasakan hal yang sama Kak untuk masalah ekspresi itu. Jika dengan kucing misalnya Sendy bisa lebih senang rasanya. Tapi bukan berarti tidak suka anak kecil mungkin saja karena kita lebih terbiasa dengan hewan sampai saat ini. Ya introvert memang agak kesulitan untuk berekspresi jadi hal wajar saja Kak. Tapi ada teman introvert yg bisa berekspresi baik dengan anak kecil.

Sendy Saga


Kemudian beliau mengirimi saya link berisi penjelasan mengenai masalah saya, kira-kira kesimpulannya seperti ini :


"Otak para introvert memandang wajah manusia seolah tidak ada artinya. Mereka nampaknya tidak bisa membedakan wajah manusia dari benda mati. Ini membuktikan respon otak introvert yang relatif datar dan secara penilaian seimbang ketika disajikan sejumlah gambar yang berbeda.
"Otak para pemilik kepribadian introvert cenderung acuh tak acuh terhadap sekelilingnya. Otak introvert juga berpotensi memperlakukan atau menanggapi mahluk hidup dan benda mati dengan cara yang sama. Untuknya makna manusia seimbang dengan benda mati," ungkap Inna Fishman, salah seorang peneliti asal Salk Institute for Biological Science di La Jolla, California, kepada Live Science, mengutip Selasa (30/8/2016).

Ini menjelaskan alasan kenapa banyak dari mereka memilih baca buku menyendiri dibandingkan terlibat dalam sebuah interaksi. Menurut mereka, benda mati berisikan informasi seperti buku contohnya sudah cukup untuk dijadikan sumber ilmu.

Ketika dirinya mengandalkan cara merespon yang sama terhadap manusia dan benda mati, secara tidak langsung ia telah membangun karakter yang tertutup dan tidak terbiasa dengan masukan orang lain. Benda mati tentunya tidak pernah menentangnya, dan membiasakan diri seperti itu berarti ia juga berharap yang sama soal respon manusia lain padanya 

(Dikutip dari
https://today.line.me/id/article/Ini+Alasan+Si+Introvert+Suka+Menyendiri-ade2171decdd30c15024e104da0d57609f9ecff09c0816f7a4e64e29cf244959)

Artikel tersebut menjelaskan mengenai penelitian yang dilakukan oleh sekelompok ilmuwan dari Salk Institute for Biological Science di La Jolla, California, AS mengenai respon gambar terhadap ekspresi seorang introvert dan ekstrovert. Jadi? Alhamdulillah saya masih normal, karena bukan saya sendiri yang mengalaminya, hehehe. 

Oleh karena itu, jika pembaca sekalian punya pengalaman hidup seperti saya, tak perlu khawatir, bukannya kita tidak normal atau tak suka dengan anak-anak, hanya saja kita tak pandai mengekspresikannya karena tahu sendirilah, berhadapan dengan manusia itu sangat kompleks, banyak kekhawatiran dan resiko yang terjadi. Hehehe. Kita masih punya empati dengan anak-anak kok, bahkan mungkin lebih dalam dari mereka yang senang berinteraksi dengan anak-anak. 


Baiklah, sekian pembahasan sederhana dari saya. Semoga Bermanfaat! Jauhi cemas berlebihan

*Umamehikari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun