Indonesia, negeri yang dijuluki sebagai "Megadiverse Country", merupakan salah satu surga keanekaragaman hayati terbesar di dunia. Memiliki lebih dari 17.000 pulau yang tersebar bak untaian zamrud di khatulistiwa, Indonesia menyimpan sekitar 10% dari semua spesies tumbuhan berbunga di dunia, 12% mamalia, 16% reptil dan amfibi, serta 17% spesies burung. Menjadikan Indonesia sebagai salah satu pusat keanekaragaman hayati terbesar di dunia (BKKHI, 2023). Dari hamparan hutan hujan tropis di Sumatera hingga terumbu karang di Raja Ampat, kekayaan alam Indonesia bukan hanya aset nasional, tetapi juga warisan tak ternilai bagi dunia.
Hutan hujan tropis di Sumatera, menjadi rumah bagi sekitar 10.000 spesies tumbuhan, 580 spesies burung, dan 201 spesies mamalia. Lebih istimewa lagi, hutan ini menyimpan 15 spesies endemik Sundaland yang hanya bisa ditemukan di Indonesia, salah satunya adalah Orangutan Sumatera. Keunikan dan keindahan hutan ini memiliki nilai luar biasa hingga diakui sebagai salah satu situs warisan dunia UNESCO (CNN Indonesia, 2023). Sementara itu, di ujung timur Indonesia, Raja Ampat memancarkan pesona bawah laut yang luar biasa. Lebih dari 1.500 spesies ikan karang, 700 spesies moluska, dan 537 spesies terumbu karang hidup harmonis di perairan, menjadikannya salah satu ekosistem laut paling kaya dan beragam di dunia (Asrama Kampus UMA, 2023).
Namun, di balik keindahan ini, lonceng peringatan tengah berdentang kencang. Berbagai ancaman terus mengintai kelestarian puspa dan satwa, membuat spesies demi spesies bergerak menuju jurang kepunahan setiap tahunnya. Harimau bali yang dulu berlari bebas di hutan Pulau Bali kini hanya tinggal dalam gambar arsip sejarah. Sementara itu, Burung jalak bali dengan kicauan indahnya, juga dikelompokkan sebagai satwa dengan status kritis pada Red Data Book oleh IUCN. Kepunahan ini bukan sekadar hilangnya satu spesies, tetapi rantai ekosistem yang terputus yang pada akhirnya akan berdampak pada kehidupan manusia. Hutan yang kehilangan predator puncaknya akan mengalami ledakan populasi hama. Misalnya, Harimau sumatera adalah predator puncak yang mengontrol populasi herbivora di hutan. Jika harimau punah, populasi hewan herbivora seperti rusa bisa meningkat drastis. Jumlah herbivora yang berlebihan akan menghabiskan tanaman dan tumbuhan di hutan sehingga menyebabkan kerusakan vegetasi. Jika vegetasi hancur, ekosistem hutan akan terganggu, kualitas tanah menurun, dan sumber daya alam seperti air bersih serta udara segar akan ikut terpengaruh. Pada akhirnya, dampak dari kepunahan ini juga akan dirasakan oleh manusia yang bergantung pada hutan untuk kehidupan sehari-hari. Sementara itu, ekosistem laut yang rusak akan berujung pada krisis pangan dan mata pencaharian bagi masyarakat pesisir. Konservasi bukan lagi pilihan, melainkan keharusan yang mendesak. Upaya pelestarian memerlukan pendekatan yang kreatif, kolaboratif, dan berkelanjutan. Masyarakat, pemerintah, akademisi, dan sektor swasta perlu bergandengan tangan untuk memastikan bahwa surga Indonesia, yakni kekayaan hayati tidak hanya menjadi cerita pengantar tidur bagi generasi mendatang, tetapi tetap hidup dan lestari di alam bebas.
Salah satu ancaman terbesar dalam langkah menjaga keanekaragaman hayati adalah perubahan iklim, deforestasi, serta perburuan dan perdagangan ilegal. Sebagai contoh, Penyu Hijau menghadapi risiko kepunahan akibat perubahan iklim yang memengaruhi rasio kelamin tukik (anak penyu). Ketika suhu semakin hangat, kemungkinan jenis kelamin tukik yang lahir sebagian besar adalah betina. Ketidakseimbangan ini dapat memicu krisis populasi di masa depan karena kurangnya penyu jantan untuk berkembang biak. Tak hanya itu, suhu yang terlalu tinggi juga mengurangi peluang telur untuk menetas dengan sukses, sehingga banyak calon tukik yang gagal bertahan hidup (Iqbal, 2024). Selain itu, deforestasi akibat alih fungsi hutan untuk perkebunan, pembangunan infrastruktur, dan penebangan liar telah merampas rumah bagi banyak spesies endemik. Orangutan kalimantan dan harimau sumatera adalah dua contoh nyata satwa yang kehilangan habitatnya akibat pembukaan lahan yang masif dan tidak terkontrol. Ancaman lainnya datang dari perburuan liar dan perdagangan ilegal yang dipicu oleh tingginya permintaan pasar gelap akan bagian tubuh hewan seperti gading, cula, dan bulu eksotis. Menurut informasi dari Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), jumlah Badak Jawa yang merupakan satwa endemik milik Indonesia, pada tahun 2024 hanya tersisa sekitar 81 ekor (Dewi, 2024). Rendahnya kesadaran publik tentang pentingnya konservasi semakin memperburuk kondisi ini. Masih banyak masyarakat yang secara tidak sadar berkontribusi pada kerusakan ekosistem, baik dengan membeli hewan langka sebagai peliharaan maupun dengan mengabaikan praktik ramah lingkungan dalam kehidupan sehari-hari. Jika pola pikir dan perilaku ini tidak segera diubah, upaya konservasi tidak dapat berjalan secara maksimal dan kerusakan ekosistem akan semakin meluas.
Berdasarkan materi yang disampaikan oleh Rheza Maulana, selaku narasumber pada acara Forum Bumi yang diselenggarakan Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia, perubahan sudut pandang dan pola pikir masyarakat modern menjadi salah satu penyebab dari maraknya kerusakan yang terjadi di alam. Perubahan anggapan terhadap satwa liar yang dahulu dianggap sebagai hewan yang dihormati, serta adanya konsep hutan terlarang, membuat manusia menjadi segan berbuat seenaknya terhadap alam. Kini hal tersebut sudah tidak begitu dihiraukan karena dianggap tidak rasional. Padahal, hal tersebut bisa jadi merupakan cara nenek moyang dalam menjaga hewan dan alam agar tidak sembarangan dirusak oleh para oknum manusia yang tidak bertanggung jawab, yang menjadi salah satu penyebab kepunahan satwa dan puspa Indonesia.
Dampak dari berbagai ancaman ini sudah terlihat dari hilangnya beberapa spesies satwa Indonesia, salah satunya harimau bali (Panthera tigris balica) yang dinyatakan punah sekitar tahun 1940 karena perburuan yang tak terkendali dan hilangnya habitat alami mereka akibat kedatangan bangsa eropa untuk melakukan pembangunan dan pemukiman (Izzah, 2024). Permasalahan-permasalahan ini saling terkait, membentuk lingkaran setan yang jika tidak segera diputus akan membawa kita pada kehilangan yang lebih besar di masa depan.
Berdasarkan laporan dari International Union for Conservation of Nature (IUCN), jumlah spesies yang terancam punah pada tahun 2022 tercatat mencapai 16.900 spesies. Angka ini menunjukkan peningkatan sebesar 2,55% atau bertambah 421 spesies dibandingkan tahun sebelumnya yang berjumlah 16.479 spesies. Kelompok vertebrata menjadi penyumbang terbesar dalam daftar spesies yang terancam punah, dengan total 10.739 spesies. Di antara vertebrata, ikan menduduki posisi teratas dengan 3.551 spesies yang terancam punah. Selanjutnya, amfibi menyusul dengan 2.606 spesies, diikuti oleh moluska sebanyak 2.399 spesies, reptil sebanyak 1.842 spesies, dan burung dengan 1.400 spesies. Sementara itu, kelompok invertebrata yang masuk dalam kategori terancam punah berjumlah 6.161 spesies pada tahun 2022. Angka ini mengalami peningkatan sebesar 1,97% dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat sebanyak 6.042 spesies. Beberapa spesies kritis yang menjadi sorotan di antaranya adalah satwa endemik Indonesia, yakni harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) dan pesut mahakam (Orcaella brevirostris). Dilansir dari situs web resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, sejak tahun 1996 harimau sumatera telah berstatus critically endangered oleh IUCN. Harimau ini diperkirakan hanya tersisa sekitar 400 ekor. Habitat mereka yang semakin menyempit akibat deforestasi dan konflik dengan manusia menjadi penyebab utama penurunan populasi (KLHK RI, 2024). Sama halnya dengan harimau sumatera, pesut mahakam yang merupakan mamalia air tawar langka yang hidup di Sungai Mahakam juga ditetapkan sebagai critically endangered species. Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh yayasan konservasi Rare Aquatic Species of Indonesia (RASI), jumlah populasinya diperkirakan tinggal sekitar 67 ekor akibat polusi air yang disebabkan oleh limbah industri dan rumah tangga, polusi suara kapal yang mengganggu sonar pesut, hingga aktivitas kapal pengangkut batu bara (Sucipto, 2024).
Rheza juga menyampaikan dalam materinya bahwa berbagai upaya telah berusaha dijalankan untuk menjaga dan mencegah kepunahan yang lebih besar, seperti melakukan penyelamatan, rehabilitasi, pelepasliaran satwa, serta penerapan kesepakatan internasional, seperti konferensi biodiversitas 30 by 30 initiatives.
Sebuah langkah antisipasi dan perbaikan yang strategis harus segera dilakukan, terlebih terhadap isu yang menyangkut tentang lingkungan. Perubahan iklim telah menyebabkan peningkatan suhu global, perubahan pola cuaca, dan bencana alam yang semakin sering terjadi. Hal ini berdampak langsung pada habitat alami banyak spesies di Indonesia, membuat mereka kesulitan beradaptasi dan bertahan hidup. Beberapa langkah penting untuk mengatasi permasalahan ini adalah melalui rehabilitasi ekosistem, seperti dengan memulihkan lahan basah yang rusak, melindungi kawasan mangrove, dan memperbaiki terumbu karang yang rusak. Upaya-upaya ini membantu menciptakan kembali lingkungan yang sehat dan stabil bagi flora dan fauna. Selain itu, pembangunan koridor ekologis, yaitu jalur alami yang menghubungkan habitat yang terpisah juga sangat penting. Koridor ini memungkinkan hewan berpindah dengan aman dari satu habitat ke habitat lain, mengurangi risiko kepunahan akibat isolasi dan keterbatasan sumber daya. Di sisi lain, deforestasi akibat aktivitas pertanian, perkebunan kelapa sawit, dan ekspansi industri juga menjadi ancaman besar bagi kelangsungan hidup spesies endemik. Solusi yang dapat dilakukan antara lain melalui program restorasi hutan dan reboisasi di kawasan yang telah rusak. Selain itu, penerapan kebijakan yang lebih ketat terkait perizinan lahan, serta penguatan penegakan hukum bagi pelaku deforestasi ilegal, harus menjadi prioritas. Praktik pertanian berkelanjutan yang mengutamakan perlindungan hutan juga menjadi langkah penting untuk mencegah deforestasi lebih lanjut. Sementara itu, perburuan liar yang sering kali didorong oleh tingginya permintaan terhadap produk hewan langka seperti gading, cula badak, atau bagian tubuh satwa eksotis lainnya masih marak terjadi. Untuk mengatasinya, peningkatan patroli di kawasan konservasi dan penggunaan teknologi seperti drone serta kamera pengawas di habitat penting dapat membantu memantau aktivitas ilegal. Penegakan hukum yang lebih tegas, serta sanksi berat bagi pelaku perburuan liar juga perlu diberlakukan untuk memberikan efek jera.
Kesadaran publik tentang pentingnya konservasi juga harus ditingkatkan. Kampanye edukasi melalui media sosial, program televisi, sekolah, dan komunitas lokal dapat menjadi langkah strategis untuk mendukung hal tersebut. Keterlibatan influencer dan figur publik yang dikemas lewat konten menarik dan kekinian, juga dapat menjadi pilihan alternatif dalam menyebarkan pesan konservasi, memperluas jangkauan kampanye, dan menarik audiens lebih banyak
Beberapa pendekatan menarik lainnya yang dapat dilakukan adalah lewat program adopsi hewan virtual. Masyarakat dapat "mengadopsi" hewan langka secara simbolis melalui donasi dan memperoleh satu sertifikat adopsi khusus. Dana yang terkumpul digunakan untuk berbagai kebutuhan konservasi, seperti penyediaan makanan, perawatan medis, rehabilitasi habitat, dan perlindungan kawasan. Contoh keberhasilan program ini dapat dilihat dari organisasi seperti Borneo Orangutan Survival Foundation, yang menggalang dukungan global melalui adopsi virtual untuk orangutan di Kalimantan. Donatur dapat langsung mengunjungi situs resmi mereka di situs resmi BOSF. Program ini tidak hanya berhasil mengumpulkan dana, tetapi juga meningkatkan kesadaran masyarakat dunia terhadap pentingnya menjaga keberlanjutan habitat alami satwa tersebut. Selain program adopsi, penerapan teknologi modern juga dapat dimainkan dalam upaya konservasi, seperti lewat penggunaan drone untuk memantau aktivitas ilegal di kawasan konservasi, kecerdasan buatan (AI) untuk menganalisis pola migrasi hewan, dan aplikasi mobile untuk laporan langsung kondisi satwa di lapangan.Â