Layar lebar kembali merayuku saat aku terduduk gelisah dalam suatu angan yang entah sampai kapan berakhir. Terantuk akan dusta yang baru saja aku sampaikan tadi terhadap sosok yang tak asing lagi bagiku. Raga ini kembali tak menyatu, seperti ada tetesan-tetesan perih penuh sesal yg keluar dari tubuh ini. Bagaikan badai yang siap untuk menerpa dunia saat jiwa tak merasa duka. Aku kembali menatap jarum jam yang tepat berada di depan mataku saat itu. Ketika kaki ku selancaran ke depan dan kepalaku masih santai terpaku di atas meja kesayanganku. Seolah mencari sesuatu yang tak ada wujud dalam diam. Yang ada kini hanyalah angan semua tentang kelabu.
Kini jarum jam tlah berputar dengan riang meninggalkan kenangan memilu dalam diri. Selalu teringat namun hati terpenjara akan mimpi yang hingga kini masih di abaikan oleh kegemulaian. Dia mencari namun tak akan ada dalam setiap penjelmaannya lewat tutur kata maupun lakunya. Melihat semua yang ada di mejanya pada saat ini ingin rasanya dicampakkannya semua dengan penuh amarah. Aku tak ingin seseorang dapat menggangguku malam ini. Apalagi sosok wanita-wanita murahan yang pada saat ini kelihatan berjalan-jalan di tepian rumah dengan kelihaiannya memamerkan raganya yang hanya memakai bikini sobek-sobek. Sungguh ingin ku cabik satu per satu rupanya yang kini secara tidak langsung hingga merintih menjerit dan kesakitan. Sedangkan malam seolah menertawakannya penuh pengasihanan lalu aku kembali melontarkan kata-kata layas yang spontan keluar lalu mencaci mereka.
“Hahaha.. wanita ganas! Sudah gila kau! Sungguh kemaluan mu sudah gatal dan tidak tahan lagi untuk mencari mangsa malam ini! Hahahahahahaa...” Ucapan ku kembali terlontar penuh layas ketika wanita-wanita itu lewat dari tepian rumahku.
Berucap bibir tak habis ku keluarkan malam itu hingga pada akhirnya ku melihat ada satu wanita yang menoleh diriku dengan tatapan berbeda dari wanita-wanita lainnya. Ia melihat ku seperti orang yang sedang mengasihani pengemis jalanan. Lalu ingin didekatinya diriku dan meminta agar aku tak melihat wahana liar yang berkecambuk dalam kenafsuan para manusia pecinta hasrat dikeheningan malam.
Aku kembali tertawa sinis dan berteriak agar ia menjauhiku yang saat itu seperti sampah najis terlempar dari luar tepat mengenai wajah ku. Tak ku hiraukan omong kosong wanita yang menjijikkan itu kala malam mulai semakin mencekam. Raga yang seorang diri kini harus melihat hal-hal yang sungguh memilukan hati sedangkan bibir layas tak terkendali lagi. Ahh, sudah terlihatku wanita-wanita jalang itu malam ini. Untuk apalagi aku tetap berada disini? Menghabiskan waktu yang sedang menertawakan ku?
Aku seperti bunga layu yang kini haus akan perhatian induk kumbangnya lalu mengharapkan siraman kotor kembali di setiap bagiannya. Yaa, aku haus malam ini. Sudahlah, untuk apalagi aku bertanya dalam diri yang sungguh miris akan laknatnya kehidupan. Semua orang berucap riang, semua orang merasakan nyenyaknya kasur malam, dan semua orang menemukan bahagia dalam bulan. Iri hati melihat mereka? Ohhh.. HAHA!! Membuang tenaga saja!! Itu semua bulshittt! Omong kosong belaka.
Kembali ku mengingat saat-saat dia yang melunturkan kesucian dan kebersihan raga ku. Disaat malam aku putih bagai bulan yang menyinari malam namun kini aku kotor seperti sampah. Mengapa?!! Aku membenci wanita-wanita ganas itu karna aku membenci diriku sendiri yang tak ada bedanya dengan mereka. Aku benci dengan kehidupan yang tak ada rupa tawa ini karna yang ada hanyalah emosi, amarah, kekejian, dan kepasrahan.
Lalu berkali-kali sejarah itu terjadi dengan menyakitkan. Menggelinding diatas aspal meronta kesakitan dan bersahabat pada malam kelam.
Jika diizinkan maka aku ingin dilahirkan oleh seorang ibu tanpa Ayah. Bagaimana bisa aku mengembalikan semua pada saat-saat aku dilahirkan oleh ibu. Penyesalan? HAHA!! Ibu ku saja tak menghiraukan lagi laku dia yang mencampakkannya malam itu. Sungguh pintar dia memanfaatkan putih bersihnya ibu lalu pelan-pelan ia meredupkannya seperti cahaya bulan semakin lama semakin tak nampak benderangnya. Kemudian dengan kelembutan hati dan kemurnian kasihnya terhadap suami yang ia sayangi, ibu pasrah dengan keadaaan dan menuruti kata-katanya.
Namun dia?!! HAHA!! Dia tetap menggerakkan kami dalam kejauhannya. Dia tetap bejat dan liar seperti anjing yang sedang haus akan air. Dia juga penjilat dan penjual wanita-wanita ganas yang dulunya suci seperti Ibu. Entah bagaimana bisa orang sebaik Ibu mendapatkan suami yang sifatnya tak jauh dari binatang itu.
Seraya ingin bangkit dan mencampakkan selimut yang sedari hari-hari kemarin menaungi tubuhku di sudut kamar kala itu, aku kembali melihat wanita-wanita ganas melewati tepian rumah ku kembali. Kini aku terpuruk dalam bisu, meraung dalam sepi seolah bibir kelut dan berat ketika ingin mengatakan sesuatu kepada Ibu malam itu. Beginilah kelabu nya kehidupan kami tanpa warna warni. Ntah sampai kapan kami terus menjalani hidup yang digerakkan seperti robot ini. Malam ini yang ada hanyalah aku dan Ibu. Kami berdua seperti dua bulan yang kini berada tepat di atas air yang selalu mengalir kemana pun air itu pergi hingga terbawa dinginnya arus kehidupan.
Medan, June 2014.
Putri Silaban
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H