Di era digital, informasi menyebar begitu cepat, terutama melalui media sosial. Sayangnya, tidak semua informasi yang beredar adalah benar. Hoaks kesehatan menjadi salah satu ancaman terbesar yang dapat membahayakan masyarakat. Informasi yang salah mengenai vaksin, obat-obatan, atau pengobatan alternatif sering kali menimbulkan keresahan hingga keputusan yang keliru. Di sinilah mahasiswa, sebagai generasi terpelajar, memiliki peran penting untuk menangkal penyebaran hoaks kesehatan.
Mengapa mahasiswa memiliki peran penting dalam hal ini? Karena mahasiswa merupakan kelompok yang memiliki akses lebih luas terhadap sumber informasi yang kredibel, seperti jurnal ilmiah, situs resmi organisasi kesehatan, atau dosen yang ahli di bidangnya. Misalnya, literasi informasi yang baik telah terbukti menjadi kunci untuk mengurangi dampak hoaks kesehatan pada masyarakat, seperti yang dibahas dalam berbagai penelitian tentang pendidikan literasi digital, salah satunya adalah ”Keterampilan Literasi Informasi sebagai Upaya Pencegahan Hoaks Mengenai Informasi Kesehatan di Media Sosial” oleh Tine Silvana Rachmawati dan Merryam Agustine. Mahasiswa juga memiliki kelebihan dalam memahami dan menyaring informasi berdasarkan data ilmiah yang valid. Dengan keunggulan ini, kita dapat menjadi jembatan yang membantu masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar.
Sebagai mahasiswa, kita dapat memanfaatkan media sosial untuk memberikan edukasi kepada masyarakat. Misalnya, dengan membuat konten yang informatif dan mudah dipahami tentang topik-topik kesehatan yang sering disalahartikan, seperti fakta tentang vaksinasi atau pentingnya mencuci tangan dengan benar. Dalam membuat konten ini, kita perlu kreatif agar pesan yang disampaikan menarik perhatian. Misalnya, menggunakan infografis berwarna cerah dan style yang menarik, video pendek yang to the point, atau bahkan humor yang relevan.
Selain itu, mahasiswa dapat membantu meluruskan informasi di lingkungan sekitarnya. Ketika menemukan hoaks yang dibagikan oleh teman atau keluarga, kita bisa langsung meluruskan informasi tersebut dengan sopan dan menggunakan data yang valid. Tidak perlu bersikap konfrontatif, cukup dengan memberikan fakta secara sederhana agar dapat lebih mudah diterima orang lain. Sikap empati dan kesabaran juga sangat penting dalam hal ini.
Mahasiswa juga dapat memanfaatkan kemampuan teknologi untuk melawan hoaks. Sebagai contoh, kita bisa membuat infografis menarik, video edukasi, atau bahkan bekerja sama dengan komunitas untuk mengadakan webinar tentang kesehatan. Pendekatan ini akan lebih efektif dalam menarik perhatian masyarakat dibandingkan sekadar memberikan penjelasan panjang lebar. Selain itu, mahasiswa juga bisa bergabung dengan gerakan-gerakan anti-hoaks yang sudah ada, seperti Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO), dengan begitu bisa membantu agar dampaknya bisa lebih luas.
Namun, melawan hoaks kesehatan bukanlah hal yang mudah. Banyak orang yang lebih percaya pada informasi yang sesuai dengan pandangan mereka atau bisa dibilang bias, meskipun itu salah. Oleh karena itu, mahasiswa perlu belajar berkomunikasi secara persuasif dan empatik agar pesan yang disampaikan dapat diterima dengan baik. Misalnya, dengan memahami latar belakang pemikiran orang yang percaya hoaks, kita bisa menyesuaikan cara penyampaian informasi agar lebih efektif.
Sebagai agen perubahan, mahasiswa memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa informasi yang beredar di masyarakat merupakan informasi yang benar dan bermanfaat. Ini bukan hanya tentang meluruskan hoaks, tetapi juga tentang membangun budaya literasi informasi di masyarakat. Dengan langkah-langkah sederhana seperti ini, kita bisa membantu menciptakan masyarakat yang lebih kritis dan sadar akan pentingnya informasi yang valid, terutama dalam hal kesehatan. Yuk, bersama-sama kita lawan hoaks demi masa depan yang lebih baik!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H