Hujan deras sore itu mengguyur kota kecil mereka. Aurel duduk di teras rumahnya, memeluk lutut sambil memandang butiran air yang jatuh dari langit. Di tangannya, sebuah payung lusuh tergenggam erat. Payung itu adalah hadiah dari sahabatnya, Ria, yang kini telah pindah ke kota lain.
Setahun lalu, Aurel dan Ria tak terpisahkan. Mereka selalu berjalan bersama ke sekolah, berbagi bekal, hingga menonton hujan di teras rumah Ria. Namun, segalanya berubah ketika ayah Ria dipindahkan tugas ke luar kota. "Aku akan menulis surat setiap bulan, Rel," kata Ria sambil memberikan payung itu di hari perpisahan mereka.
Namun, seiring waktu, surat-surat itu mulai jarang datang. Aurel merasa hubungannya dengan Ria memudar. Ia takut, sahabat yang dulu sangat ia percayai, mungkin telah melupakannya.
Suara bel rumah membuyarkan lamunannya. Dengan enggan, Aurel bangkit dan membuka pintu. Di sana berdiri seorang gadis berjaket kuning basah kuyup. Aurel tertegun.
"Hana?"
Ria tersenyum lebar, meskipun tubuhnya gemetar kedinginan. "Rel, maaf aku nggak kasih kabar. Aku datang khusus buatmu."
Air mata Aurel langsung menggenang. Ia memeluk Ria erat-erat, seakan takut sahabatnya itu akan menghilang lagi.
Malam itu, mereka menghabiskan waktu bercerita panjang lebar, seperti tak ada jarak dan waktu yang pernah memisahkan. Aurel akhirnya menyadari bahwa persahabatan sejati tidak ditentukan oleh seberapa sering mereka bertemu, tetapi oleh seberapa dalam hati mereka saling mengingat.
Hujan yang deras di luar kini terasa hangat di hati mereka, membasuh semua keraguan yang pernah ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H