Mohon tunggu...
Putry Rizqia Wiapta
Putry Rizqia Wiapta Mohon Tunggu... Dosen - Pelajar sepanjang hayat

Mamak anak satu dan pecinta kopi sachet dua ribuan, tapi ga nolak juga kalo dijajanin kopi mahal hehe

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Antara Wedang Uwuh Jogjakarta dan Kopi Lamongan

30 Maret 2016   08:00 Diperbarui: 30 Maret 2016   08:11 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari ini sedang agak malas untuk mengepost di Kompasiana, efek beberapa hari yang lalu artikel sudah rapi tinggal diupload namun hilang seketika dan tidak sempat disimpan, mungkin efek karena terlalu pagi, kopi belum diserap maksimal oleh lambung dan kemudian membuat saya sedikit linglung untuk memilih tombol 'tayang' di akun ini. Ah sudahlah ... Yang hilang biarkan hilang, masih banyak yang bisa ditulis lainnya, seperti dua minuman favorit saya ini. Anggap saja artikel ini sebagai curahan hati dan penumbuh semangat untuk menulis lagi, jadi maafkan apabila tulisan ini akan terkesan lebih subjektif.

Kenapa dua minuman yang berasal dari dua tempat yang secara geografis berjarak 286 km menjadi konsen tulisan saya pagi ini? Jawabannya adalah karena sedang merindukan keduanya. Tulisan ini ditulis dengan ditemani secangkir kopi instan seharga dua ribuan namun jangan tanya, paling tidak bisa membuat pagi ini terasa lebih nikmat.

Kultur keluarga saya secara garis besar dipengaruhi oleh kedua kota ini, Jogjakarta dan Lamongan yang kemudian 'numpang hidup' di kota Solo. Keluarga kakek saya berasal dari Imogiri, Bantul, sebuah daerah yang terkenal dengan tempat wisata berupa pemakaman para raja-raja baik kesultanan Mataram Jogjakarta maupun Kasunanan Surakarta. Tempat wisata pemakaman itu sudah sangat tidak asing bagi saya, karena beberapa kali lebaran atau waktu senggang digunakan untuk mengantar kakek sekiranya bernostalgia masa lalu. Bagi yang sudah berkunjung ke area wisata tersebut pasti akan mengetahui bahwa wedang Uwuh akan ditemukan dengan cara yang mudah karena hampir semua toko disana menjualnya, baik dalam kemasan siap seduh atau sudah berbentuk seduhan. Awal saya mengenal minuman ini saya langsung tertarik oleh warna merah dari secang membuat minuman ini beda dari wedang-wedang lainnya. Nama Uwuh pun membuat saya agak heran, karena sepengetahuan saya sebelumnya, Uwuh adalah tumpukan sampah dedaunan kering yang biasanya akan dibakar. Lalu kakek menjelaskan bahwa wedang ini bahan-bahannya seperti sampah yang tidak terpakai. Bahan wedang Uwuh ini adalah Jahe, Secang, Cengkeh, Kayu Manis, Sereh, Kapulaga dan yang pasti disajikan menggunakan Gula Batu. Rasanya pedas dan manis bercampur jadi satu menimbulkan sensasi menyegarkan di badan. Bagi yang berencana datang ke Jogja bisa langsung mencari salah satu minuman khas Jogja yang satu ini walau tidak menutup kemungkinan sekarang wedang Uwuh sudah banyak tersebar di outlet-outlet teh di mall-mall. Bedanya wedang Uwuh yang ada di Jogja dan di mall? Menurut saya lebih ke sensasinya, rasanya pun mirip, hanya diminum dengan setting budaya Jogja akan sangat berbeda dengan mall yang ramai dan padat. Monggo dicoba langsung nggih.

Lalu kota Lamongan menjadi tempat asal Nenek saya, keluarga besar Nenek berada di sana, dan di kota Lamonganlah Nenek dan Kakek saya bertemu, menikah, kemudian memulai hidup sebagai keluarga kecil hingga memiliki 3 anak, ibu saya adalah anak Sulung dari 5 bersaudara, lalu ketika usia ibu saya menginjak usia SD diajak untuk berhijrah ke Solo dimana 2 anak lainnya dilahirkan disini. Setiap tahunnya bisa mengunjungi kota Lamongan sebanyak 2-3 kali karena 2 kakak Nenek masih tinggal disana dan 1 lainnya di Malang. Jadi jangan heran apabila aksen ke 'Jawa Timuran' di keluarga saya sangat kental terasa, mulai dari logat, nada suara, hingga 'taste' yang ada di meja makan akan asing bagi orang Solo pada umumnya. Kebetulan Ibu bertemu dengan Ayah yang berasal lagi-lagi dari Jawa Timur yakni kab. Magetan maka semakin lengkaplah darah 'ketimuran' saya.

Mengapa kopi Lamongan yang saya pilih? Karena begitu anda memasuki gerbang bertuliskan "Selamat Datang di Jawa Timur" maka anda akan menemukan rasa teh yang berbeda jika sebelumnya anda berada di Jawa Tengah. Teh yang biasa dikonsumsi dan disajikan di Jawa Timur lebih wangi, menurut saya lebih terasa seperti sirup dibandingkan teh. Karena saya tinggal di kota Solo yang sangat maju dengan budaya 'HIK' nya, teh yang sebelumnya terasa lebih sedhep dan kemudian merasakan teh yang wangi membuat saya tidak doyan dengan kebudayaan Jawa Timur yang satu ini. Jika ingin merasakan dan tidak bisa datang langsung ke area Jawa Timur maka anda bisa membeli teh kemasan yang bergambar naga, teh ini rasanya wangi seperti yang saya jelaskan di atas.

Karena ketidakdoyanan saya terhadap teh di Jawa Timur maka saya selalu usahakan mengorder es Jeruk atau wedang Jeruk ketika berada di rumah makan yang disinggahi. Tetapi ketika berada di Lamongan maka kopi Lamongan lah yang menjadi pilihan, memang kopi lamongan tidak setenar kopi Lampung namun kenikmatannya bisa dibandingkan ya. Kopi Lamongan dapat dengan mudah ditemui di warung-warung kopi pinggir jalan, namun saya lebih suka dengan kopi olahan rumah saudara. Biji kopi yang ditumbuk sendiri, seadanya, lalu diseduh dengan air mendidih, wangi dan rasanya menurut saya sangat khas. Saya baru membayangkan bagaimana jika biji-biji kopi ini berada pada tangan barista kemudian menyajikannya secara 'mewah', pasti rasanya akan lebih-lebih nikmat lagi.

Baru menulis mengenai kopi Lamongan membuat saya ingin bergegas kesana, padahal jatah terdekat untuk kesana masih sekitar tiga bulanan lagi, karena lebaran tentunya. Membahas mengenai Lebaran, dan mengingat kultur keluarga yang tersebar seperti ini, maka lebaran bagi saya menjelma menjadi "touring de java". Jika lebaran bagi sebagian orang hanya hari pertama dan kedua saja, maka lebaran bagi saya bisa sampai hari kelima atau keenam. Karena begitu selesai berlebaran di Solo, hari kedua biasanya sudah menuju ke Jogja untuk berlebaran disana, lalu dilanjutkan ke Magetan, dan kemudian menuju Lamongan. Paling tidak 4 hari perjalanan darat, dari satu kultur ke kultur yang lainnya, istilahnya orang jawa "njeglek" pun saya alami selama 4 hari tersebut. Dari kuliner Jogja yang kebanyakan serba manis, pindah ke Magetan yang terkenal dengan Pecelnya, lalu ke Lamongan yang kental dengan seafood mengingat Lamongan berada di pesisir. Tradisi tahunan ini yang saya rindukan ketika sudah terlalu penat dengan semua urusan dan tugas belajar di Solo. Artikel ini saya tulis pun dengan rasa rindu yang datang mendadak pagi ini. Semoga bisa memberikan sedikit manfaat bagi pembaca yaa dari curhatan saya pagi ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun