Saya baru saja nonton Upside Down, sebuah film fantasi romantis yang dibintangi oleh Jim Sturgess dan Kirsten Dunst. Film ini menuturkan kisah cinta dua manusia yang tinggal di dunia dengan medan gravitasi berkebalikan. Mereka pun berjuang mati-matian untuk bersatu, menebas segala perbedaan dan larangan yang membujur di antara dua dunia itu.
Film ini belum masuk bioskop, tetapi saya nekad beli DVD bajakannya karena penasaran.
Karena amat penasaran itulah, saya menaruh ekspektasi tinggi buat film ini ketika membeli. Saya kira, alurnya bakal sangat menarik seperti ide pokoknya. Jalan ceritanya tidak membosankan, banyak kejutan, penuh adegan yang tak mudah dilupakan, lalu ditutup oleh akhir yang berkesan.
Ternyata, dugaan saya meleset. Film ini biasa-biasa saja.
Usai menonton, saya jadi kesal sendiri. DVD itu harganya tujuh ribu. Tahu filmnya begitu saja, tentu uangnya bisa saya pakai untuk beli kebutuhan lainnya. Waktunya bisa dialokasikan buat tidur, dan yang paling penting saya nggak perlu merasa begini sakit hati!
Lalu, saya menduga-duga apa yang terjadi kalau saya tidak lebih dulu membubungkan harapan di film ini. Saya mungkin akan nonton dengan lebih santai, dan at the end pasti nggak bakal sekecewa ini.
Itulah kenapa saya paling malas dengan urusan harap-mengharap. Sebab saya tahu, harapan yang diterbangkan semakin tinggi bakal jatuh dengan lebih sakit. Dan adakah yang lebih buruk ketimbang berkawan dengan rasa sakit?
Kemudian saya jadi paham kenapa ada banyak orang yang tidak menikah. Koreksi, memutuskan untuk tidak menikah.
Bagi sebagian orang, menikah bisa jadi adalah kepastian. Tapi bagi sebagian lainnya, menikah adalah kemewahan.
Ini bukan soal biaya perayaan. Ini masalah nyali dan keberanian.
Berani menikah, berarti berani menerima segala spektrum perbedaan yang dimiliki pasangan. Berani membuat keputusan agar kita berdua tetap berada dalam satu anjungan.