Padahal, kenapa mesti harus satu anjungan dengan orang lain kalau merasa lebih nikmat sendirian? Dengan orang lain, suka tak suka kita harus tepa selira. Mendengarkan apa yang dia mau, lalu mengupayakan jalan tengah dari apa yang jadi keinginan berdua. Bukankah melelahkan?
Beda cerita kalau kita sendirian. Tak perlu susah-susah memilih jalan tengah kalau memang lebih suka ngebut di lajur kiri. Atau kanan. Terserah saja.
Salah satu kawan saya bercerita, ayahnya yang pendeta pernah menangani kasus perceraian menggelikan. Pemicu pertengkarannya sederhana: lonceng angin (klintingan).
Si suami terbiasa tinggal di rumah penuh lonceng angin sedari kecil, sehingga dia tidak bisa tidur kalau tidak ada bunyi klintingan. Sang istri, kebalikannya, justru ketakutan dengan segala bunyi-bunyian. Ketika menikah dan tinggal bersama, masalah itu jadi melembung amat besar. Keluarga kedua belah pihak sampai ikut campur tangan, tapi di antara mereka tetap tak ada yang mau mengalah. Karena tak kunjung menemukan titik tengah, anjungan rumah tangga mereka pun akhirnya terpaksa harus dibelah.
Lucu, tapi hal-hal semacam itu pasti tak sulit ditemukan dalam setiap pernikahan! Kalau tak bijak mengendalikan perbedaan, arah anjungan kita tak akan berjalan sesuai dengan harapan.
Dan kalau sudah tak sesuai pengharapan, sakitlah yang bakal didapatkan.
Tapi, seburuk itukah rasa sakit?
Biksu Ajahn Brahm, dalam bukunya yang berjudul Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya, sempat mengutip puisi Jonathan Wilson-Fuller yang ditulis saat dia masih berusia 9 tahun. Fuller menulis, adalah salah berharap untuk hidup tanpa rasa sakit. Sebab, rasa sakit adalah pertahanan tubuh manusia.
Dan bukankah rasa sakit yang membuat kita beroleh pelajaran tentang panasnya api dan pentingnya berjalan hati-hati?
Beberapa waktu lalu, saya menemani ibu yang mendapat undangan pernikahan emas seorang kawan karibnya. Acaranya sederhana, tapi itu adalah kali pertama saya hadir di perayaan semacam itu sehingga ada banyak kesan tertinggal di hati saya.
Kemasannya sangat manis dan hangat. Ada sebuah film diputar, berisi foto-foto pasangan mulai dari pertama kali bertemu sampai menimang cucu. Jalan-jalan berdua, juga foto ramai-ramai dengan keluarga. Tuntas nonton film, seluruh anak dan cucu maju ke atas panggung kecil untuk menceritakan kesannya atas pasangan tersebut.