Mohon tunggu...
Putri Rizky
Putri Rizky Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pecandu kata.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ketupat Bullshit dan Opor Basa-basi

14 Agustus 2013   09:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:19 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mohon maaf lahir-batin dan selamat lebaran! Berapa banyak kalimat itu saya ucapkan dan kirimkan sejak malam takbiran sampai hari ini, sudah nggak perlu dihitung lagi. Banyak, sudah pasti. Tapi, berapa banyak maaf yang sungguh-sungguh keluar dari dalam hati, tulus tanpa basa-basi, dan bukannya sekedar ngikutin tradisi? Hampir seperempat abad saya diajari bahwa lebaran adalah momen saling memaafkan, pertanyaan mudah macam itu saja tak bisa segera saya tampik dengan jawaban. Sayang sekali malaikat tidak punya telepon, sehingga pilihan ‘phone a friend’ pada si pencatat semua amal perbuatan itu pun terpaksa harus saya lupakan. Tapi kalaupun malaikat punya nomor layanan pelanggan dan menjawab terus terang bahwa jumlahnya tak lebih banyak dari total jari tangan saya, mungkin saya nggak akan terkejut. Iyalah. Maaf, basa basi bullshit berikut cipika-cipiki omong kosongnya itu memang gampang. Tapi, seperti kata Adinia Wirasti di film Arisan 2, mulut itu cuma tempatnya kata-kata numpang lewat. Asalnya ya seharusnya tetap dari dalam hati. Termasuk urusan meminta dan memberi maaf. Sayangnya, lidah memang nggak punya tulang; punya saya mungkin malah seperti sudah dipresto sampai durinya bisa ditelan sekalian. He he he.. Ada yang bilang, maaf-maafan nggak perlu nunggu sampai lebaran. Nggak harus juga pas lebaran. Kapanpun mau dan siap untuk meminta maaf, silakan. Kepada yang sinis ini, kaum pro lebaran biasanya nyaring berbunyi, “Ya lebih baik setahun sekali daripada nggak sama sekali.” Masalahnya, memberi dan meminta maaf dengan hati itu bukan perkara mudah lho Bung! Tidak berarti mendukung kita semua untuk jadi pendendam, tapi ayolah. Satu kali dalam dua belas bulan terkadang terlalu sukar buat mereka yang lukanya masih basah. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada mereka yang menjunjung tinggi tradisi lebaran, kalau demikian, seharusnya tak perlu memaksa setahun sekali kalau maafnya tidak ikhlas dari lubuk hati kan? Sebab maaf-memaafkan itu urusan perasaan, dan bukankah perasaan adalah variabel bebas yang nggak seharusnya diikat-ikat oleh apapun termasuk kewajaran? Tidak pada waktunya, tidak pada tempatnya. Bah, perasaan kita nggak bisa tunduk sama aturan-aturan itu, Jenderal! Semakin keikhlasan diabaikan, semakin hilang ruang-ruang ketenangan karena saat kita sebagaimanapun rapatnya menyimpan harapan, saat itulah rasa kecewa sebetulnya sedang kita tumbuhkan. Karena itu, nggak heran kalau lebaran terkadang justru jadi peraut bagi permusuhan. Kemarin, teman saya mengeluh sebal pada saya karena ucapan lebaran (yang berarti satu paket dengan ucapan mohon maaf lahir batin blablablah) yang dikirimkan dia via sms ke temannya tak mendapat balasan. Kata dia, sms lebarannya tahun lalu juga zero respond. Tahun ini pun sama. “Ya sudah, tahun depan nggak usah lah aku kirim-kirimin lagi.” Ada juga yang jadi kesal karena alasan, “Kan dia lebih muda, ya dia duluan dong yang ngucapin lebaran ke aku!” Atau, jadi bahan gunjingan lantaran tidak nyamperin duluan usai lebaran. Complicated ya! Lebaran tahun ini, saya sendiri pun berusaha belajar banyak soal keikhlasan. Termasuk ikhlas dalam meminta dan memberi maaf. Ikhlas tanpa alasan. Ikhlas karena ya memang tulus mau meminta dan memberi maaf. Ikhlas karena mumpung masih diperkenankan hidup dalam rahim semesta. Ikhlas dalam pemaafan, BUKAN karena takut masuk neraka atau mengharap surga. Sulitnya luar biasa, karena dari kecil saya terbiasa hidup dalam romantisisme ganjaran-ganjaran imajiner berupa sistem pahala. Sudahkah berhasil? Yaaaah.. masih harus lebih banyak belajar lagi. Yang jelas kalau sudah ‘lulus’ nanti, saya bakal happy karena akhirnya derajat saya bisa mengungguli tikus-tikusnya Burrhus Frederic Skinner yang dengan mudah kemakan eksperimennya reward dan punishment. He he he.. Jadi, masih perlu diasah terus nih hati nurani! Tahun ini, saya juga belajar bahwa kemenangan terbesar bukanlah memaafkan orang lain. Apalagi kalau cuma setahun sekali. Yang tersulit adalah penerimaan dan pemaafan diri sendiri. Kalau ini sudah berhasil dilalui, maka meminta dan memberi maaf untuk orang lain pun harusnya tak jadi soal besar lagi. Semoga! Nah, mumpung masih dalam suasana lebaran, saya sekalian mengucapkan mohon maaf lahir dan batin ya! Kalau nawarin suguhan ketupat dan opor ayam mungkin bisa basa-basi, tapi untuk ungkapan maaf semoga bisa selalu tulus keluar dari dalam hati..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun