Dinamika politik dalam pembentukan Undang--Undang Perkawinan yang cukup panjang telah tercatat sejarah. Proses perancangan Undang--Undang perkawinan tidaklah berjalan dengan mulus . Mulai dari proses pengesahan Rancangan Undang--Undang yang masih menimbulkan perbedaan pendapat di sana.Â
Pemicu perbedaan pendapat terletak pada pembahasan mengenai masalah poligami dan hak-hak perempuan. Pada Mei 1967 Rancangan Undang--Undang Pernikahan atau RUUP telah diajukan namun ditolak oleh fraksi Katolik dan membuat pembahasan rancangan Undang--Undang ini diberhentikan sementara. Â Alasannya terkait persoalan menyangkut agama.
 Kemudian  Rancangan  Undang--Undang  Perkawinan  diajukan  ulang  oleh  pemerintah  pada  31  Juli  1973  ke  DPR.  Sebelum  pembahasan  Rancanga  Undang--Undang  dibuka  kembali,  ternyata  beberapa  isi  dari  rancangan  Undang--Undang  tersebut  sudah  dibocorkan  oleh  media.  Dari  sana  bermunculan  tuntutan--tuntutan  sebab  ketidak  sesuaian  Rancangan  Undang--Undang  dengan  ajaran  Islam.  Pasal--pasal  tersebut  diantaranya:
- Sahnya perkawinan yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Dalam Islam telah dijelaskan bahwa pernikahan dapat dinyatakan sah apabila terpenuhinya rukun dan syarat sah nikah, jika ada syarat ataupun rukun yang tidak terpenuhi maka pernikahan tersebut menjadi rusak atau tidak sah.
- Perbedaan  keyakinan  atau  beda  agama  tidaklah  menjadi  penghalang  bagi  orang--orang  yang  akan  melangsungkan  perkawinan.  Di dalam  Al--Qur'an  telah  dijelaskan  "Jangan  lah  kamu  menikahi  perempuan  musyrik"  (Q.  S.  Al-Baqarah  ayat  221).  Dari  ayat  ini  jelas  bahwa  orang  Islam  tidak  boleh  menikah  dengan  orang  selain  Islam.
- Larangan  adanya  perkawinan  dengan  sebab  hubungan  anak angkat  ataupun  orang  tua  angkat,  persamaan  hukum  antara  anak  angkat  dengan  anak   kandung.  Hubungan  anak  angkat  ataupun  orang  tua  angkat  tidaklah  menjadi  kemahraman  seseorang,  jika  tidak  ada unsur  kemahraman  di  dalamnya.  Dan tingkatan  hukum anak angkat dan anak kandung terbilang berbeda.Â
 Organisasi  Islam  Nahdatul  Ulama'  mengadakan  musyawarah  di  Jombang  untuk  mencari  jalan  keluar  dari  problematika  Rancangan  Undang--Undang  Perkawinan  yang  melenceng  dari  ajaran  Islam.  Kemudian  hasil  dari  musyawarah  para  Ulama'  dibawa  oleh  fraksi  Persatuan  Pembangunan  ke  Jakarta  untuk  dijadikan  panduan  saat  sidang  di  DPR.  Dan  hasil  musyawarah  dari  Nahdatul  Ulama'  mendapat  dukungan  dari  beberapa  organisasi  Islam  lainnya.  Sehingga  timbullah  demo  ketidak  terimaan  umat  Islam  terkait  Rancangan  Undang--Undang  yang melenceng itu agar pemerintah mau mencabutnya.Â
 Setelah  begitu  panjang  perjalanan  yang  ditempuh  Umat  Islam  guna  memperjuangkan  Rancangan  Undang--Undang  Perkawinan  agar  sejalan  dengan  ajaran  Islam,  akhirnya  mandapatkan  hasil yang memuaskan. Rancangan Undang--Undang yang awalnya 73 pasal, menjadi 66 pasal, yang mana Rancangan Undang--Undang yang bertentangan telah dihapus oleh pemerintah. Sehingga semua fraksi menyutujui Rancangan Undang--Undang Perkawinan tersebut.