Konstitusi dan negara merupakan dua hal yang tidak bisa di pisahkan. Keduanya saling melengkapi yang mana konstitusi berperan sebagai dokumen hukum tertinggi dalam menetapkan prinsip- prinsip dasar yang mengatur pemerintah harus berjalan sesuai dengan hukum yang sudah ada.Dengan mengatur kekuasaan dalam pemerintah, konstitusi melindungi hak-hak warga negara serta menentukan batasan agar pemerintah tetap berjalan dalam hukum yang adil dan transparan.
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga independen dalam kekuasaan kehakiman yang bertugas mengawasi konstitusi.MK sering dikaitkan dengan urusan tata negara dan perundang-undangan.MK di bentuk agar konstitusi dilaksanakan secara tanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan prinsip demokrasi. Dalam negara demokrasi, keputusan dan kebijakan yang di buat harus sesuai dengan tujuan utama, yaitu untuk mensejahterakan rakyat.Â
Latar belakang pembentukan MK adalah sebagai penjaga agar konstitusi yaitu UUD 1945 dapat diimplementasikan secara benar dan adil. Selain itu, agar pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) tidak sewenang-wenang membuat undang-undang tanpa melibatkan partisipasi masyarakat dan hak-hak warga negara. Karena besarnya wewenang MK ini tidak luput dari kritik dan masukan dari banyak pihak, terutama terkait erat dengan tanggung jawab dan sikap atau tindakan MK kedepannya. Sudah bukan rahasia umum lagi jika lembaga negara dan pemerintahan di Indonesia mempunyai persoalan yang amat rumit mengenai tanggung jawab dan kepercayaan pejabat publik serta organisasinya. Akibatnya, hukum dan tindakan pemerintah yang dilakukan oleh berbagai lembaga negara dan pemerintahan amat minim dukungan dan kepercayaan dari masyarakat.
Mahkamah Konstitusi menjelaskan bahwa meskipun Undang-Undang Dasar 1945 tidak secara eksplisit mengatur batasan usia untuk calon presiden dan wakil presiden, hal ini tidak menghambat interpretasi yang lebih luas terkait syarat-syarat kelayakan seseorang untuk mencalonkan diri. Dalam konteks ini, pertimbangan terhadap kelayakan dan kapasitas seseorang menjadi faktor utama dalam menentukan siapa yang dapat mencalonkan diri. Keputusan Mahkamah Konstitusi ini mencerminkan upaya untuk memastikan bahwa proses demokratisasi tidak terbatas oleh batasan usia semata, melainkan mengutamakan kemampuan, pengalaman dan potensi kontribusi seseorang terhadap kepemimpinan negara. Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga menyoroti pentingnya memberikan kesempatan kepada generasi muda atau milenial untuk berpartisipasi aktif dalam pemerintahan, termasuk dalam pencalonan presiden. Ini tidak hanya sebagai bentuk pengakuan terhadap kepentingan inklusivitas dalam sistem politik, tetapi juga sebagai langkah untuk mendorong inovasi dan representasi yang lebih luas dalam tatanan kepemimpinan nasionalÂ
Dalam negara demokrasi, keputusan dan kebijakan yang dibuat harus dengan tujuan utama yaitu untuk mensejahterakan rakyat. Ini menganut sistem kedaulatan rakyat, yang mana ini adalah konsep yang menempatkan puncak kekuasaan di tangan warga negara dan harus diterapkan menurut Undang-Undang Dasar. Masyarakat memiliki hak untuk memilih siapa yang akan menjadi pemimpin dan pejabat. Sistem ini bisa dilaksanakan melalui pemilihan umum yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yaitu salah satu bentuk kedaulatan rakyat yang paling sering kita lakukan hingga saat ini untuk mensejahterakan rakyat.Â
Putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi baru-baru ini telah menimbulkan berbagai pandangan di kalangan masyarakat. Ketidak konsisten nan putusan tersebut memicu perdebatan dan kekhawatiran, terutama terkait dugaan bahwa keputusan itu mungkin dipengaruhi oleh faktor-faktor politik atau hubungan pribadi. Beberapa pihak mencurigai adanya hubungan antara Ketua Mahkamah Konstitusi saat itu dengan salah satu calon wakil presiden, yang memunculkan pertanyaan serius tentang kemandirian dan integritas Mahkamah Konstitusi. Tuduhan ini mengakibatkan spekulasi luas tentang kemampuan lembaga tersebut untuk tetap netral dan tidak memihak dalam menjalankan tugasnya.
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai batas usia untuk calon presiden dan wakil presiden, yang diatur dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, telah menimbulkan berbagai perdebatan di masyarakat.ini menimbulkan kontroversial karena usia dianggap sebagai salah satu faktor penting dalam menilai kualitas seorang pemimpin politik, selain dari pengalaman dan kedewasaan. Walau begitu, beberapa individu berpendapat bahwa usia bukanlah satu-satunya indikator yang menentukan kualitas kepemimpinan seseorang. Argumen ini mencerminkan perdebatan yang kompleks mengenai karakteristik yang seharusnya dimiliki oleh seorang pemimpin dalam konteks politik kontemporer.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2007 tentang Pemilihan Umum, khususnya Pasal 169 huruf q, merupakan hasil dari proses legislatif yang melibatkan kolaborasi antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam pasal tersebut, ditetapkan bahwa salah satu persyaratan bagi calon presiden dan wakil presiden adalah harus berusia minimal empat puluh tahun. Proses pembentukan undang-undang ini mencerminkan kinerja demokratis di Indonesia, di mana peraturan-peraturan penting dibuat melalui musyawarah dan persetujuan antara eksekutif dan legislatif. Penetapan batasan usia ini mungkin untuk memastikan bahwa calon yang maju memiliki kematangan dan pengalaman yang cukup untuk memimpin negara.Â
Mahkamah Konstitusi telah melakukan perubahan terhadap peraturan tersebut, sehingga ketentuan usia minimum menjadi empat puluh tahun. Selain itu, mereka menambahkan syarat alternatif bahwa individu yang pernah atau sedang menduduki jabatan yang diperoleh melalui pemilihan umum juga memenuhi syarat. Jabatan yang dimaksud termasuk posisi yang diperoleh melalui pemilihan kepala daerah. Dengan kata lain, jika seseorang belum mencapai usia empat puluh tahun, tetapi memiliki pengalaman sebagai pejabat terpilih, mereka tetap dapat memenuhi syarat sesuai dengan peraturan yang telah direvisi ini. Perubahan ini memberikan fleksibilitas dalam persyaratan kelayakan, sehingga lebih banyak orang dengan berbagai latar belakang pengalaman dapat memenuhi syarat untuk posisi tersebut.
Menurut pengamat Mahkamah Konstitusi cenderung memihak kepada kepentingan DPR dan pemerintah. Hal ini bisa dilihat dari keputusan MK yang dinilai telah mengabaikan perannya sebagai lembaga yudikatif yang mana seharusnya menjalankan fungsi untuk saling kontrol dan seimbang. Dengan kata lain, Mahkamah Konstitusi tidak lagi bertindak sebagai pengawas yang independen, melainkan lebih seperti pelaksana dari kehendak legislatif dan eksekutif. Tindakan ini menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi telah melepaskan jati dirinya sebagai institusi yang menjaga keseimbangan kekuasaan, sehingga menimbulkan kekhawatiran tentang terkikisnya fungsi pengawasan dalam sistem pemerintahan. Lama kelamaan Mahkamah Konstitusi sering kali terlihat berperan sebagai alat yang dimanfaatkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden untuk melakukan perubahan undang-undang secara cepat dan efektif. Peristiwa ini seperti mengabaikan peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan yang seharusnya menjadi bagian penting dari demokrasi. Fungsi Mahkamah Konstitusi yang idealnya sebagai penjaga konstitusi dan pelindung hak-hak konstitusional warga negara menjadi dipertanyakan dan menimbulkan kekhawatiran. Keresahan masyarakat akan keputusan-keputusan penting dapat dibuat tanpa konsultasi publik yang memadai dan mengarah pada praktik-praktik yang lebih otoriter dan kurang transparan dalam pemerintahan
Putusan MK dapat memengaruhi kepercayaan publik terhadap sistem peradilan konstitusi dan sistem politik di Indonesia. Kepercayaan ini sangat penting untuk keberlangsungan demokrasi yang sehat. Kepercayaan publik terhadap MK sangat bergantung pada bagaimana lembaga negara, termasuk DPR, mematuhi putusan-putusan MK.