Jejak kayutangan tertua didapat dari sumber data tekstual yang berupa susastra yaitu kitab prosa ganjaran Pararaton yang di dalamnya memuat satu kawasan hutan yang bernama Patangtangan. Nama yang tertera dalam kitab Pararaton itu merupakan toponimi kuno.
Hutan Patangtangan yang berasal dari kata dasar "tangan" ini dinamai demikian karena pada kawasan itu banyak ditumbuhi pohon yang bentuk rantingnya menyerupai jemari tangan. Pohon Kayutangan semestinya bisa menjadi ikon untuk koridor ini.
Pada Prasasti Ukir Negara yang bertarikh 1198 juga disebutkan bahwa terdapat Kampung yang bernama Talun di wilayah Hutan Patangtangan. Talun berkaitan erat dengan keberadaan hutan Patangtangan karena arti kata Talun merujuk pada kebun yang baru dibuka di tepian hutan atau dalam bahasa jawa disebut sebagai "alas tetelan". Oleh karena itu, kampung ini menjadi tempat tinggal warga yang pertama kali membuka kebun baru di pinggir hutan Patangtangan.
Sebagaimana dijelaskan oleh Pak Dwi Cahyono, hal-hal semacam ini dapat pula dijadikan sebagai branding untuk koridor Kayutangan. Misalnya dengan menjual makan makanan yang berasal dari bahan baku tanaman yang dulunya ditanam di kebun kampung itu, seperti salah satunya adalah kacang.
"Dulu ketika saya masih kecil, anak anak itu punya aktivitas ekonomik untuk jualan koran dan kacang. Jadi sekitar alun-alun sampai Kayutangan itu ya orang menjual kacang godog atau kacang goreng dicontongi gitu. Lalu ada juga es, Talun dulu juga dikenal dengan Talun es. Kenapa es? Karena ada penjual es teler di pertigaan situ yang sangat terkenal tahun tahun 1992 sampai tahun 2000. Depot es yang legendaris. Nah itu kan es bisa dimunculkan kembali ke lokal nya Talun. Kenapa tidak itu saja untuk mengenalkan Kayutangan?" Tutur Pak Dwi.
Hal lain juga dapat dimunculkan pada penampilan live musik yang kerap dimainkan di Koridor Kayutangan. Entah nanti ingin menyanyi lagu keroncong, pop, atau akustik paling tidak bisa dibuka dengan menyanyi lagu Kidang Talun yang terinspirasi dari Kampung Talun sebagai upaya menciptakan branding internal dari karakter lokal untuk mencapai identitas wilayah tersebut.
Namun terlepas dari itu, rencana revitalisasi yang dilakukan Pemerintah Kota Malang untuk menghidupkan lagi kawasan Kayutangan dan meningkatkan jumlah wisatawan telah berhasil dilakukan. Akan tetapi yang disayangkan, revitalisasi ini hanya tampak pada pembangunan trotoar, tempat duduk, deretan meja-meja, serta pada aksesoris jalan lainnya seperti rambu dan lampu jalan yang seluruhnya menyerupai Malioboro di Yogyakarta dan Braga di Bandung. Sedangkan di mana karakter Kayutangan Heritage sebenarnya?
Daftar Pustaka
Arsip
Gids Voor Malang en Omstreken
Buku