Oleh Rikmaya Nur Izzah
Peresmian Kawasan Kayutangan Heritage sebagai Ibu Kota Heritage Kota Malang telah dilakukan pada Jumat 30 Agustus 2019 oleh Wali Kota Malang, Drs. H. Sutiaji. Berderet bangunan-bangunan kuno peninggalan Kolonial merupakan faktor pemilihan kawasan Kayutangan sebagai Ibu Kota Heritage. Menurut Pemkot Malang hal ini akan menjadi daya tarik untuk memperkuat sektor ekonomi kreatif yang sedang digenjot akhir-akhir ini. Selain itu, keberadaan kawasan ini diharapkan mampu menarik wisatawan baik domestik maupun mancanegara.
Revitalisasi Kayutangan di Jalan Jenderal Basuki Rahmat yang memadukan desain tata kota dari dua daerah yaitu Malioboro di Yogyakarta dan Jalan Braga di Bandung ini nampaknya cukup berhasil menarik perhatian para wisatawan.
Kehadiran Kayutangan Heritage itu telah berjalan sesuai apa yang diharapkan oleh Pemerintah kota, yaitu menghidupkan Kawasan Kayutangan sebagai salah satu destinasi wisata Kota Malang. Dilansir dari malangkota.go.id per Bulan April 2023 jumlah pengunjung yang berwisata ke destinasi baru ini mencapai dua puluh ribu hingga dua puluh lima ribu pengunjung perbulannya.
Selain itu, upaya revitalisasi ini juga dinilai sebagai bagian dari pelestarian dan konservasi cagar budaya. Hal ini sejalan dengan kebijakan Undang-Undang nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan dan Undang-Undang nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang menyatakan bahwa objek pemajuan kebudayaan dan cagar budaya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan wisata.
Namun, apakah memang revitalisasi hanya dapat dilakukan dengan meniru? Atau mengkolaborasikan identitas daerah daerah lain untuk diaplikasikan kembali ke daerah yang semestinya telah memiliki ciri khas nya sendiri?
Kehadiran Kayutangan sebagai koridor heritage ini bukanlah suatu hal yang baru lagi. Sejak masa kolonial, kawasan ini telah menjadi ruas jalan utama dan tempat bergengsi yang dipenuhi oleh bangunan-bangunan penting seperti tempat konsultan, gedung perkantoran, toko-toko untuk kalangan menengah atas, dan pusat hiburan. Sebagaimana menurut data pada buku De Gids voor Malang en Omstreken yang terbit tahun 1924 juga menyebutkan di sepanjang Kayutangan banyak toko-toko besar seperti Toko V.O.S. yang beralamatkan di Jalan Kayutangan nomor 51, ia menjual sepeda dan beragam perlengkapannya. Selain itu, toko ini juga menyediakan alat-alat olahraga lainnya, bermacam peralatan musik, tali senar, dan lampu-lampu gas.
Tidak jauh dari sana, tepatnya di Jalan Kayutangan nomor 19, terdapat Malang Toilet Club yang merupakan salah satu tempat hiburan untuk kalangan atas. Ada pula coiffeur (tempat potong rambut) di dalamnya, dan masih banyak lagi toko-toko di sepanjang jalan kayutangan. Hingga memasuki masa Jepang, Kayutangan menjadi kawasan yang terbatas karena berada dalam masa pendudukan dan sempat pula menjadi kawasan pertempuran di masa pra kemerdekaan.
Pada awal kemerdekaan sekitar tahun 1950, Kayutangan kembali ramai dengan adanya Toko Buku Siswa yang selalu padat pengunjung. Suasana ini berlangsung hingga tahun 1980 pertengahan. Tahun-tahun kemunculan banyak pusat keramaian baru seperti mall perbelanjaan di sekitar alun-alun.
Sementara itu, Pak Dwi Cahyono yang seorang Budayawan Malang mengatakan bahwa pada pertengahan 1980 mulai banyak pusat perbelanjaan baru muncul dan berlanjut hingga tahun 1990 an. Bersamaan dengan itu, Kayutangan juga mulai ditinggalkan dan beralih fungsi menjadi kawasan dengan berderet hotel, bank, dan sorum motor. Hal ini terjadi karena Kawasan Kayutangan tidak lagi potensial untuk dijadikan sebagai tempat usaha. Sampai dengan beberapa tahun belakangan ini mulai kembali ramai karena adanya revitalisasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Malang.
Dari penjabaran itu jelas tergambar bahwa Koridor Kayutangan telah melewati sejarah yang amat panjang. Mengecap pasang surut garis waktu membuat Kawasan ini seharusnya telah memiliki kekhasan yang menjadi identitasnya. Dengan kata lain, pencarian karakter untuk merevitalisasi koridor kayutangan semestinya berkiblat pada filosofi Kawasan Kayutangan sebenarnya.