Pers dalam suatu negara memiliki peran sebagai media penyambung lidah antara pemerintah dengan masyarakatnya. Dalam sebuah negara demokrasi seperti Indonesia, pers dijadikan sebagai tolak ukur terhadap kebebasan bersuara untuk majunya negara. Berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers, salah satu peranan dari pers yaitu untuk memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui informasi. Dalam sistem pemerintahan yang demokratis, pers berperan penting sebagai alat kontrol baik bagi masyarakat maupun bagi pemerintah. Pers juga berperan dalam menjaga keseimbangan kekuasaan dengan menyampaikan kritik terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah baik lembaga legislatif atau yudikatif.
Pada masa awal kemerdekaan Indonesia setelah adanya pengakuan kedaulatan terhadap oleh dunia internasional, sistem pemerintahan Indonesia mengalami perubahan menjadi sistem parlementer yang menganut paham liberal atau sering disebut dengan demokrasi liberal. adanya perubahan terhadap sistem pemerintahan tersebut juga berpengaruh kepada sistem pers di Indonesia. Pada masa demokrasi liberal ini pers nasional juga menganut sistem liberal yang berkaitan kepada kebebasan.
Pada akhir tahun 1949 setelah masa pengakuan kedaulatan, masyarakat Indonesia memiliki semangat mengenai makna kemenangan kemerdekaan. Pada masa Demokrasi Liberal juga ditandai dengan kebebasan para wartawan untuk menerbitkan pers. Bisa dikatakan bahwa siapapun yang memiliki modal uang, bahkan tidak peduli berasal dari golongan manapun atau menganut aliran dan ideologi politik apapun, dapat menerbitkan pers dengan tidak memerlukan izin dari siapapun. Pemerintah juga mendukung pada usaha penerbitan pers, dengan memberikan bantuan berupa modal, subsidi terhadap kertas koran, peralatan untuk mencetak dan berlangganan kepada setiap surat kabar yang terbit. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah tersebut berkaitan akan kebutuhan untuk mendapatkan informasi dan pandangan yang menguntungkan bagi kepentingan serta kebijakan politik pemerintah.
Kebebasan tersebut dapat dilihat dari adanya perubahan fungsi pers di Indonesia. Pada masa revolusi pers digunakan sebagai media untuk mempertahankan kemerdekaan, sedangkan pada masa demokrasi liberal pers lebih digunakan sebagai media untuk komunikasi partai politik. Pemberitaan dalam pers masa demokrasi liberal cenderung didominasi oleh kepentingan partai politik. Hal tersebut dapat terjadi karena pers mendapat bantuan pendanaan yang dilakukan oleh partai politik kepada perusahaan pers.
Pada awal kemerdekaan Indonesia, surat kabar banyak bermunculan terutama sekitar tahun 1950-an jumlah dari surat kabar terus mengalami peningkatan karena digunakan oleh partai-partai politik untuk menyebarkan ideologi partainya. Saat pemilihan umum pertama pada tahun 1955, jumlah dari media cetak mencapai 457 terbitan. Berbeda dengan tahun 1949 yang hanya memperoleh jumlah tiras 3.457.910 eksemplar atau delapan kali lipat jumlah tiras pada tahun 1949. Pada masa ini surat kabar merupakan corong atau media dari sebuah kekuatan politik. Fase kebebasan pers tahun 1950-an dapat dilihat dari sajian berita utama, tajuk rencana, analisis berita, catatan pojok serta karikatur yang di tampilkan. Pada masa ini pers Indonesia pada umumnya mendukung kebijakan serta program yang diselenggarakan oleh pemerintah, hal tersebut dapat dilihat pada saat peristiwa Konferensi Asia Afrika yang dilaksanakan di Bandung pada 18-24 April 1955, kemudian pada pemilihan umum tahun 1955.
Pelaksanaan pemilu pada bulan September dan Desember 1955 memberikan kesan yang menasik, karena pemilu tersebut merupakan pertama kalinya dilakukan secara nasional di Indonesia. Pemilu 1955 dianggap sebagai pemilihan umum yang mendekati kriteria demokrasi. Hal tersebut berkaitan dengan beberapa faktor seperti, bagi organisasi politik yang ingin melakukan kampanye untuk memperoleh dukungan suara tidak dibatasi dalam jumlah maupun pengorganisasian, yang berarti apapun organisasi politik yang terbentuk dengan macam-macam ideologinya diperbolehkan untuk ikut serta dalam pemilu, pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, bebas, umum, dan rahasia, kemudian adaanya paham atas keberagaman yang sama dengan kehidupan politik masa reformasi.
Kampanye politik adalah upaya yang dilakukan oleh kandidat pemilu untuk memperoleh banyak hak suara. Kampanye pada pemilu tahun 1955 tidak diketahui kapan tanggal pastinya dimulainya kampanye. Menurut Herbert Feith kampanye tahap pertama pemilu tahun 1955 dilakukan pada 4 April 1953 saat RUU pemilu disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 tentang pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Saat melakukan kampanye setiap partai politik memiliki cara dan ideologi tersendiri untuk menarik perhatian dari masyarakat agar mendapatkan dukungan suara terhadap partai politiknya.
Pada saat menjelang pemilihan umum tahun 1955 pers berperan sebagai media untuk menyampaikan program-program dari partai politik yang bersaing dalam pemilu. Bahkan tak segan-segan pemberitaan pada saat itu saling menyerang antara partai satu dengan partai yang lain. Seperti yang terjadi di Jawa Tengah perang wacana antar partai terjadi begitu sengit. Masyumi, PNI, PKI dan NU merupakan rival yang bersaing secara ketat, sehingga tidak jarang mengalami gesekan antara keempat partai tersebut. PNI secara terang-terangan menolak Darul Islam, begitu juga dengan Masyumi dan NU dengan nasionalis maupun komunis. PNI dengan wacana utama yaitu marhaenisme yang menekankan pada kemandirian, Masyumi yang mengangkat wacana utama tentang partai islam yang membawa kebenaran Tuhan, sementara NU mengangkat wacana utama partai islam yang membawa konsep tentang islam yang keindonesiaan, sedangkan PKI mengangkat wacana utama tentang kerakyatan dalam bingkai marxisme.
Untuk menarik simpati dari rakyat, tidak jarang partai-partai tersebut berperang wacana. Hal tersebut terjadi pada partai empat besar pemenang pemilu 1955, pada saat itu pertarungan wacana terjadi antara PNI dengan Masyumi, dan PKI dengan Masyumi. Perang wacana yang paling panas yaitu antara PNI dengan Masyumi, pertarungan ini semakin memanas saat terjadi perubahan kabinet Ali Sastroamidjojo yang berasal dari PNI ke Burhanudin Harahap yang berasal dari Masyumi. Hal yang paling sering diangkat dalam pemberitaan-pemberitaan untuk menyerang Masyumi adalah berita tentang Masyumi yang akan mengubah ideologi Indonesia menjadi negara islam, pemberitaan ini dapat dilihat dari beberapa terbitan dari surat kabar Suluh Indonesia.
PNI dengan PKI juga mengalami pertarungan yaitu saat muncul pernyataan yang menyatakan bahwa PNI merupakan musuh besar PKI. Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Tony Wen, ia menyatakan bahwa sosialisme yang dianut oleh PNI berbeda dengan sosialisme yang dianut oleh PKI. Yang mana sosialisme PKI lebih mengarah kepada internasionalisme yang tidak mencintai tanah air. Dari pertarungan wacana yang terjadi antar partai tersebut, Masyumi menjadi partai yang mendapatkan serangan yang bertubi-tubi dari saingan politiknya. Dalam memperjuangkan suaranya PKI dikenal dengan partai yang melalui jalan apapun yang penting tujuannya tercapai. Bahkan untuk melawan saingan politiknya menjelang pemilu PKI terus mencela sebagian partai-partai nasionalis dan partai kaum imperalis. Misalnya melalui surat kabar Harian Rakyat yang sering memberitakan berbagai Tindakan Masyumi yang dianggap salah, seperti Masyumi tidak anti Belanda, tidak anti kolonialisme, dll.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada masa Demokrasi Liberal pers cenderung memihak kepada multipartai. karena pada masa demokrasi liberal kebebasan pers cukup besar, yang mana setiap partai politik pada saat itu memiliki kebebasan untuk memiliki massa media sendiri. Pers pada masa ini digunakan sebagai alat komunikasi partai politik, karena pemberitaan pers didominasi oleh kepentingan partai politik. Hal tersebut terjadi karena adanya bantuan pendanaan yang dilakukan oleh partai politik terhadap Perusahaan pers. Akibatnya pers pada masa ini lebih cenderung menjadi partisan dan sebagai alat perjuangan partai politik. Bahkan pada saat itu pemberitaan pers banyak warna dengan berita mengenai pertentangan antarpartai politik.