Aku lahir dan besar di Bima, sebuah kota di tepian air yang kaya akan tradisi dan kebiasaan masyarakatnya. Di kampung halamanku, orang-orang terbiasa hidup sederhana dengan  kekeluargaan yang kuat. Cara bicara kami lugas dan apa adanya, langsung pada inti persoalan. Kehidupan sehari-hari kami penuh dengan gotong royong, dan tradisi seperti Mbolo Weki, musyawarah untuk mufakat menjadi dasar dalam menyelesaikan berbagai masalah.
Namun, ketika aku merantau ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikan, aku disadarkan pada kenyataan bahwa dunia jauh lebih beragam daripada yang dibayangkan. Budaya di kota ini begitu berbeda, orang-orang di sini berbicara dengan halus, memilih kata dengan hati-hati, dan cenderung menghindari konflik langsung. Awalnya, aku merasa susah beradaptasi. Di tempat asalku, berbicara blak-blakan adalah tanda kejujuran, tetapi di Yogyakarta, cara itu bisa dianggap kurang sopan.
Selain perbedaan dalam cara berkomunikasi, aku juga terkejut dengan perbedaan dalam makanan. Di Bima, masakan kami cenderung pedas dan kuat rasa bumbunya. Tetapi di Yogyakarta, hampir semua makanan yang aku coba terasa sangat manis. Mulai dari gudeg yang terkenal itu hingga makanan ringan seperti bakpia dan jadah, semuanya lebih manis dari yang aku bayangkan. Awalnya, aku agak kesulitan beradaptasi dengan rasa manis yang dominan dalam makanan di sini. Namun, lama-kelamaan aku mulai menikmatinya, meskipun tetap merasa masakan di Bima jauh lebih berani dalam hal rasa.
Hidup di lingkungan yang beragam juga mempertemukanku dengan berbagai stereotipe. Sebagai orang Bima, aku kadang dianggap keras atau terlalu lugas dalam berbicara. Di sisi lain, aku pernah mendengar stereotipe tentang orang Jawa yang dianggap terlalu lambat dalam mengambil keputusan. Aku menyadari bahwa stereotipe seperti ini, meski terlihat sederhana, bisa menjadi penghalang dalam membangun hubungan baik. Aku mencoba meluruskan pandangan-pandangan itu dengan berbagi cerita tentang nilai-nilai kekeluargaan dan gotong royong yang dijunjung tinggi di tempat asalku.
Di sini, aku bertemu dengan banyak teman dari berbagai provinsi di Indonesia. Tidak hanya orang Jawa, tetapi juga dari Aceh, Sumatra, Sulawesi, Papua, Kalimantan, dan daerah lainnya. Setiap provinsi membawa tradisi dan kebiasaan yang unik, dan itu membuka mataku terhadap betapa kayanya budaya Indonesia. Aku mulai belajar bagaimana cara berbicara dengan teman-teman dari daerah yang berbeda, bagaimana cara mereka berinteraksi, dan memahami nilai-nilai yang mereka pegang. Ada teman dari Aceh yang sangat menghormati waktu, teman dari Bali yang begitu santai, serta teman dari Papua yang terbuka dan ramah.
Belajar hidup dalam keberagaman membentuk cara pandangku terhadap dunia kerja kelak. Aku tahu, di tempat kerja, aku akan bertemu orang-orang dari berbagai latar belakang budaya. Pengalaman ini mengajarkanku untuk lebih peka, menghormati perbedaan, dan tidak membawa stereotipe atau prasangka dalam berkomunikasi. Aku yakin bahwa memahami budaya lain akan menjadi kunci untuk bekerja sama secara efektif dan menciptakan harmoni di lingkungan mana pun.
Hidup di Yogyakarta membuatku lebih matang. Aku belajar tidak hanya tentang budaya lain, tetapi juga tentang caraku menyesuaikan diri tanpa kehilangan jati diri. Pengalaman ini memberiku pemahaman bahwa perbedaan adalah sesuatu yang harus dirangkul, karena dari situlah kita bisa bertumbuh dan saling menguatkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H