Mohon tunggu...
Putri Musalamah
Putri Musalamah Mohon Tunggu... Psikolog - Konselor, trainer, SDM dan fasilitator parenting

9 tahun menggeluti dunia pendidikan dan konseling remaja, tertarik dengan ilmu parenting. Kini menfokuskan diri di bidang SDM dan HRD.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Benarkah Memberikan Pujian pada Anak Itu Buruk?

7 Desember 2024   11:57 Diperbarui: 7 Desember 2024   12:12 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa waktu yang lalu saya bertemu dengan seorang klien dengan diagnosa awal adalah kecemasan social. Lucunya kali ini klien mendiagnosa dirinya sendiri saat datang ke ruang konseling. Entah dari mana ide itu ia dapat, tapi dia mengeluh bahwa sepertinya dia mengalami gangguan kecemasan atau bahasa kerenya axienty disorder.

Axienty disorder sendiri bermakna gangguan kecemasan yang dialami oleh individu dan biasa muncul di waktu yang tidak tepat. Gangguan ini akan menyebabkan jantung berdebar, keringat dingin bahkan beberapa diantaranya bisa mual dan pusing. Individu dengan gangguan ini biasanya akan merasa sangat tidak nyaman bila ia berada dia situasi yang baru atau penuh tekanan baginya.

Kembali pada klien ini, dia merasa sangat terganggu jika berada di ruang publik atau berhadapan dengan orang yang lebih tua. Setelah melalu konseling yang cukup panjang akhirnya diperoleh, bahwa anak ini tidak pernah mendapatkan kekerasan yang membuat traumatik. Anak juga tidak pernah dituntut untuk berprestasi, lalu bagaimana bisa muncul kecemasan ini. 

Padahal tidak ada dari keluarganya yang menderita gangguan ini, dia juga tidak merokok, minum kopi dll.

Penyebab

Ternyata klien ini bercerita setiap kali dia berhasil melakukan tugas dia selalu mendapat pujian dari keluarga besaranya. Pun ketika dia tidak berhasil dia selalu mendapat penguatan dan kalimat postif dari keluarganya. Tidak ada penghakiman bahkan semua memotivasi. Kecemasan ini bermula dari persepsi si klien jika dia gagal dia harus berusaha lebih baik. 

Lalu salahnya dimana?, tidak ada yang salah hanya saja si klien berusaha terlalu keras, dan memacu dirinya berusaha lebih keras. Dia lupa menikmati hidupnya dan bahagia, dia berusaha untuk menjadi lebih dan lebih bahkan nilai 85 membuat dia kepikiran.

Salahkan memberikan pujian atau motivasi?

Pada dasaranya tidak ada yang salah dengan memberikan pujian, hanya kadang kita terlalu memberikan banyak pujian tanpa tahu kondisi kebutuhan anak. Terkadang memang ada kondisi anak butuh dipuji untuk menguatkan konsep dirinya. 

Tapi terkadang ada anak yang membutuhkan kehadiaran kita disana melihat prosesnya. Perhatian secara seksama, bukan sekedar ucapan manis tapi kita asik main hp. Bahkan anak sudah bisa menangkap tatap mata kita, tanpa kita mengeluarkan sepatah kata apapun.

Menurut Montensori ali-alih memberikan banyak pujian dan tepuk tangan, lebih baik orang tua pahami situasi anak dan mengatakan sesuai kondisi saat itu. Berikut adalah beberapa alternative ucapan selain pujian yang bisa diberikan ornag tua.

  • Diam dan lihat dengan penuh seksama semua proses anak kita. Sehingga anak bisa menikmati moment keberhasilannya sekaligus merasakan kehadiran kita dalam proses berharga tersebut.
  • Berikan komentar yang objektif, fokus pada pencapainya seperti " Adek bisa memakai baju itu ya".
  • Deskripsikan perasaanya si anak "adek senang ya behasil masukan bola/ adek puas ya".
  • Berikan pengakuan seperti " Kamu sudah berusaha ya/ kamu berhasil".
  • Berikan senyuman.
  • Tunnjukkan perasaan kita, " Kau bisa, ayah turut senang".

Pada dasarnya pujian itu tidak buruk hanya saja pemberiannya harus disesuaikan. Dari mana kita bisa mengetahui kapan anak butuh pujian kapan tidak. Jawabannya adalah semakin kita dekat dengan anak maka semakin tajam pula insting kita terhadap perasaan anak. Maka ciptakan momen bersamamu, hormati setiap progress dalam hidupnya, perlambat kecepatan kita saat beraktivitas denganya. Maka secara alamiah anak akan terkoneksi dengan kita dan memudahkan kita mengetahui kebutuhan anak.

Sumber:

Davies, S & Uzodike, J. 2021. The Montenssori Baby. Yogyakarta: Bentang Pustaka

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun