Mohon tunggu...
Putri Musalamah
Putri Musalamah Mohon Tunggu... Psikolog - Konselor, trainer, SDM dan fasilitator parenting

9 tahun menggeluti dunia pendidikan dan konseling remaja, tertarik dengan ilmu parenting. Kini menfokuskan diri di bidang SDM dan HRD.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Waspada Kampanye LGBTQ Lewat Toxic Maskulinity

7 September 2024   14:17 Diperbarui: 7 September 2024   21:54 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Latar Belakang

Beberapa waktu yang lalu saya berkesempatan mendapat klien dengan pemahaman LGBTQ. Darinya saya memperoleh bahwa selama ini masyarakat Indonesia terlalu melakukan toxic masculinity pada kaum pria. Norma yang berkembang membuat pria kesulitan untuk mengungkapkan perasaanya dan mengekpresikan dirinya. Pada point ini saya masih menyetujui pendapatnya karena banyak kita temui kasus semacam ini. Lebih lanjut dia membahas terkait aturan norma yang terlalu memaksa cara berpakaian seseorang, cara bersikap bahkan pilihan hidup. Menurutnya masyarakat Indonesia terlalu mengurusi pilihan hidup seseorang.

Dari sini pembaca mungkin bisa sedikit menarik garis lurus, bahwa pilihan hidupnya menjadi Gay sedikit banyak dipengaruhi oleh pemahaman yang salah terkait toxic maskulinity. Memang pemahaman ini tidak berdiri sendiri, ada banyak faktor pendukung yang menyebabkan dia (klien) memutuskan untuk memilih menjadi Gay. Namun ini adalah bahasan menarik karena bisa jadi ada banyak orangan dengan pemahaman yang sama, apalagi terakhir ini banyak sekali berseliweran VT atau quotes  tentang toxic masculinity. 

Definisi Toxic Maskulinity

Suatu keadaan yang di rasakan oleh kaum pria terkait tekanan yang dialami dalam hidup bermasyarakat. Seperti seorang pria harus bersikap tegas dan tidak boleh menangis. Teori ini menjelaskan bahwa laki-laki yang mengalami toxic maskuliniti akan berpikiran bahwa:

  • Pria tidak boleh menujukkan kelemahanya, pria harus kuat dan tidak boleh cengeng.
  • Pria tidak butuh kehangatan dan rasa kasih saying
  • Pria tidak butuh bantuan dan tidak boleh bergantung
  • Pria harus memiliki kekuasaan secara social
  • Pria boleh melakukan kekerasan
  • Pada beberapa kasus bahkan pria boleh membenci perempuan dan boleh berprilaku seksual yang kasar.

Paham Yang Dipelintir

Banyak konten kreator atau pengguna medsos mengulas topik ini tanpa kajian yang mendalam dan pemahaman yang utuh. Sehingga video singkat yang dibuat rentan di tafsirkan berbeda oleh pembaca. Pembaca yang kurang literasi akan menerima seluruh informasi secara utuh tanpa adanya pemahaman yang baik. Alhasil banyak dari mereka menjadi salah kaprah dalam memahami topik ini. Sebenarnya self diagnosis memang umum dilakukan oleh netizen, hal ini di sebabkan munculnya berbagai informasi singkat terkait kesehatan mental di media social. Netizen secara latah akan mulai menganalisi dan mendiagnosis tanpa ada assement yang lengkap. Padahal seperti yang kita ketahui asessmen terkait kondisi mental hanya boleh dilakukan oleh professional.

Kejadian ini juga terjadi pada bahasan terkait toxic maskulinity, dimana netizen yang mendapat informasi hanya dari video singkat. Padahal kajian ini memiliki ciri-ciri yang jika dijabarkan bisa satu makalah sendiri. Sehingga banyak dari mereka menjadi salah kaprah dan memiliki pemahaman yang salah.

Berikutnya kesalahan dalam memahami bahasan ini membuat orang semakin mengamini prilaku LGBTQ sebagai kebenaran. Dimana paham LGBTQ menekankan kebebasan berekpresi dan kebebasan dalam memilih. Paham ini juga memperlakukan wanita dan pria harus setara, jika bisa dilakukan pria mengapa wanita tidak boleh melakukan.

Berikut ini adalah paham dipelintir guna mendorong orang untuk membenarkan tindakan LGBTQ.

  • Pria tidak boleh menangis, sebenarnya hal yang ingin disampaikan  adalah semua orang boleh bersikap realistis, jika sedih boleh kok menangis, baik pria maupun wanita. Padahal yang diningnkan adalah seseorang boleh melepas sumber stressornya lewat menagis. Namun pemahaman ini  dipelintir, menjadi sumber pembenaran bagi pria yang berpakaian seperti perempuan, dengan dalih semua harus setara.
  • Pria harus bersikap kasar, paham ini dipelintir menjadi pria boleh kok bersifat lemah lembut, keibuan, bersikap seperti peremuan lemah gemulai. Padahal yang di inginkan di sini adalah seorang pria tidak boleh melakukan tindakan kekerasan bukan berubah sifat menjadi perempuan.
  • Tidak boleh menerima bantuan, pemahaman lain yang dipelintir adalah, seorang pria tidak boleh menerima bantuan karena mereka kuat. Padahal semua orang boleh di bantu dan membantu jika membutuhkan, itu yang ingin di sampaikan. Tetapi menurut kaum LGBTQ bahwa semua orang setara dalam hal kekuatan. Baik pria dan wanita memiliki kekuatan yang sama. Padahal sudah jelas kesetaraan itu tidak berlaku mutlak, karena secara anatomi tubuh saja sudah berbeda. Apalagi cara berpikir pria dan wanita jelas berbeda, jadi tidak mungkin kesetaran itu bersifat mutlak dan ultimate. Tidak mungkin seorang pria bisa menanggung sakitnya melahirkan. Adapun seorang wanita tidak mungkin bisa sekuat dan setenangan pria dalam hal pengambilan keputusan, karena wanita dipenuhi sejumlah hormon dan kondisi. Sehingga kesetaraan tidak bisa berlaku mutlak dan ultimate seperti yang di gaungkan kaum LGBTQ

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun