Fenomena post-truth (kebohongan dianggap sebagai fakta) sebenarnya sudah terjadi sejak zaman Nabi Muhammad SAW, bukan fenomena baru di era media online saat ini. Hal ini dibuktikan dengan sabda Nabi yang menyebutkan akan datang suatu zaman di mana pendusta dibenarkan dan orang jujur didustakan. Â
Ketika pendusta dibenarkan dan orang jujur didustakan, ini membuktikan post-truth memang sudah terjadi sejak masa lampau. Orang lebih percaya hoaks yang memancing emosi daripada sumber berita valid. Post-truth mampu mengalahkan rasionalitas dan dapat mengancam kohesi sosial serta pembangunan bangsa.
Secara psikologis, post-truth muncul dari rasa takut akan kejujuran orang lain dan kekhawatiran akan kalah dalam persaingan. Post-truth merupakan potret orang-orang kalah yang memaksa menang dengan cara tidak beretika seperti intrik dan kampanye hitam.
Fenomena pengkhianat dipercaya sedangkan orang amanah dianggap pengkhianat membuktikan bahwa sifat asli media sosial sebenarnya tidak anti-humanis. Hoaks dan berita palsu sudah menyebar lebih dulu sebelum perkembangan media konvergensi. Â
Kondisi ini diperparah dengan munculnya golongan Ruwaibidhah (orang bodoh yang ikut campur urusan publik), yang bersifat instan, hipokrit, anti-sosial dan bersikap seperti bandit. Mereka seharusnya minoritas namun berhasil mengontrol keadaan dan mencoreng wajah media sosial yang seharusnya digunakan secara arif.
Untuk menang dalam persaingan ini, kita harus bermental progresif, berpikir futuristik dengan semangat 'tomorrow is today', bukan bersifat romantis-konvensional dengan pola pikir 'yesterday is today'. Kita harus melakukan pergeseran dari sekedar penumpang menjadi pengendali era digital.
Penulis : Putri Maharani dan Syamsul Yakin, Mahasiswa dan Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H