Mohon tunggu...
PUTRI MEGA ROHMANIYATI
PUTRI MEGA ROHMANIYATI Mohon Tunggu... Operator - sebagai siswa

suka membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sayap Yang Rapuh

23 November 2024   15:00 Diperbarui: 23 November 2024   15:23 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

   Setibanya aku dirumah, aku tidak mendapati bunda dirumah. "bunda mana, nek?." Tanyaku pada nenek. "bunda mu mau jemput ayahmu di stasiun." Jawab nenekku. "katanya ayah pulang lusa?" balasku. "keburu kangen kamu katanya." Jawab nenekku sambil tersenyum. Melihat senyuman nenekku yang indah, aku pun ikut tersenyum. Baru aku menyadari kalau kulit nenekku sudah banyak kerutan, yang menandakan usianya sudah cukup rentan. Walaupun begitu ia masih kuat untuk mengurusi ku. Emangnya selama ini aku kemana aja? Kenapa aku baru menyadari kalau ternyata nenek sudah se-tua ini? Pikirku. Hal itu membuatku terus kepikiran, hingga aku memutuskan untuk pergi mandi dan melaksanakan sholat ashar.

   Waktu menunjukkan pukul 4 sore, teman-teman ku mengajakku untuk bermain di lapangan. Ketika aku hendak berpamitan, terlihat nenekku sedang memindahkan galon dengan jalan yang sedikit bungkuk. Mengingat usia nenekku yang hampir menginjak 60 tahun, aku tidak tega jika meninggalkannya. Namun ajakan temanku untuk bermain bersama membubarkan niatku untuk membantu nenek. Aku mendekatinya lalu meminta izin untuk bermain, nenekku mengiyakan saja dan tidak lupa memberiku selembar uang kertas bernilai 5.000 rupiah. Walaupun sudah terhitung akhir bulan dan uang nenekku sudah menipis, hal itu tidak pernah membuat nenekku menjadi pelit kepadaku. Nenekku adalah orang paling kaya menurutku, karena walaupun di dompetnya hanya tersisa 20.000. nyatanya nenekku tidak pernah lupa untuk memberiku uang jajan.

   Malam setelah aku sholat isya, aku merasa lapar karena pada dasarnya aku sering malas untuk makan. "dek, ayo makan dulu, tadi kan kamu belum makan." Dengan rasa khawatir nenekku menyuruhku untuk makan. "gak mau", jawabku dengan keras kepala. Malam itu nenekku sudah menawarkan aku untuk dibuatkan makanan sesuai keinginku, tetapi tetap saja aku menolak. Mungkin aku sudah tidak berselera makan karena sudah cukup malam bagiku untuk menelan makanan. Tetapi hal itu tidak bisa meruntuhkan usaha nenekku untuk mengajakku makan malam, ia terus saja membujukku agar mau makan. Hal itu membuatku kesal hingga tanpa sengaja aku membentak nenekku dengan melontarkan kata-kata yang cukup menyakitkan. "GAK MAUU, JANGAN MAKSA BISA GAK SIH?", teriakku. Nenekku hanya tersenyum sedikit pilu, terlihat menyakitkan, dan ia meninggalkanku sendirian.

   Terhitung sudah 5 nenit, terasa sunyi. Samar terdengar suara sendok dan piring saling beradu, menandakan ada seseorang yang sedang makan di dapur. Aku dengan membawa perasaan yang sedih dan sedikit menyesal karena sudah membantah ucapan nenekku pun menghampiri suara itu, dengan pelan aku duduk disamping nenekku. Seperti tidak merasa bersalah, aku malah meminta nenekku untuk menyuapi ku. Aku mengunyah makanan sambil menangis. Dalam pikiranku berkata, mengapa aku sebodoh ini? Padahal seharusnya aku bersyukur karena memiliki nenek yang sangat baik dan tidak pernah pelit padaku, tapi nyatanya dengan parahnya aku mudah sekali menyayat hatinya. Walaupun terkadang nenekku sedikit menyebalkan, tapi ia tidak pernah sekalipun membenciku. Padahal bisa saja dia membenciku dan berhenti mengurusi ku, tetapi nyatanya ia tetap menyayangi ku.

   Nenekku yang menyadari aku menangis, ia langsung memelukku dan bertanya mengapa aku menangis. Aku tidak ingin menjawab karena terlanjur malu dengan apa yang sudah ku lakukan padanya. "mau tambah nasi?", tanya nenekku untuk meredakan tangisanku. Aku tidak menjawab, hanya mengangguk. Nenekku pergi mengambil nasi dari rice cooker sekaligus mengambil air minum untukku. Lirih suaraku kala itu, dengan penuh rasa bersalah aku meminta maaf pada nenekku. Ia hanya mengangguk dan memberiku segelas air putih untuk ku minum. Ia tidak mengatakan apapun, justru ia memelukku sebelum ia menyuapi ku kembali.

   Malam itu adalah malam yang tenang disertai rintik gerimis, melihat luar jendela dan menunggu bunda ku pulang bersama ayah dari stasiun. Awalnya aku mengajak nenekku untuk menonton televisi, tak berselang lama, terdengar ketukan pintu disertai suara orang mengucapkan salam. Menandakan ayah dan bunda pulang, segera aku membukakan pintu. Aku menyambut mereka dengan perasaan luar biasa senang, karena waktu berkumpul seperti inilah yang selama ini aku rindukan. Setiap pulang kerja, ayahku selalu membawakan oleh-oleh untuk orang di rumah, entah berupa makanan maupun barang. Kali ini ayahku mengambil cuti lebih lama dari biasanya, oleh karena itu kami memutuskan untuk mengisi waktu libur ini dengan jalan-jalan dan piknik.

   Seminggu setelah ayah mengambil cuti, ia kembali bekerja seperti biasa. Sama halnya dengan bunda, ketika pagi mereka berangkat dan memberiku uang saku. Dan ketika pulang mereka langsung tidur karena sudah lelah, sedangkan aku yang merasa kurang diperhatikan pun hanya mengandalkan perhatian dan kasih sayang dari nenekku. Dan mungkin seterusnya akan seperti itu.

    Aku yang sehari-hari bersama dengan nenekku, perlahan menyadari sesuatu, bahwasannya nenekku sudah semakin tua. Terlihat cara berjalannya pun sudah membungkuk, lebih sering batuk, kulit yang kering dan keriput di wajahnya yang teduh, pasang mata yang sudah sayu, berada di usia yang sudah rentang. Disela-sela aku menyadari itu membuat aku lebih khawatir, takut nenekku akan pergi dipanggil Tuhan. Oleh karena itu aku mulai belajar menghargai nenekku, sekecil apapun usahanya, aku akan mencoba untuk selalu menghargai perhatian-perhatian kecil darinya, dan mungkin aku juga akan lebih perhatian pada nenekku, agar nanti aku tidak menyesal ketika sudah tidak bersama dengan seseorang yang ku sebut sebagai sayapku yang rapuh. Walaupun benar ia sudah hampir rapuh, walaupun aku sudah menyayatnya berkali-kali, ia tetap menemaniku untuk terbang meninggi. Ia tidak pernah meninggalkanku untuk jatuh sendirian

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun