Dari penjelasan di atas dapat diambil beberapa refleksi pemikiran berikut ini. Pertama, Indonesia adalah negara demokrasi yang harus setia terhadap prinsip-prinsip negara demokrasi.
Kebijakan penanganan terhadap gerakan radikalisme harus berada dalam kerangka demokrasi dan tidak boleh mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi dimaksud. Indonesia tidak boleh mereplikasi cara-cara otoriter yang ditempuh oleh negara-negara disipliner seperti Malaysia yang lebih memilih mengorbankan nilai-nilai demokrasi demi stabilitas ekonomi-politiknya. Sekalipun demikian, kebebasan berpendapat yang diamanatkan oleh demokrasi tidak boleh menyebabkan negara lemah atau terlemahkan. Negara sepenuhnya memiliki otoritas untuk mengambil kebijakan tegas (tetapi tetap dalam bingkai negara demokrasi) untuk mengatasi gerakan radikalisme agama.
Kedua, Indonesia (dalam bingkai negara demokrasi) harus merumuskan sebuah produk peraturan perundangan yang mengatur bagaimana setiap warga negara memelihara kebebasan berpendapat, termasuk dalam hal ini adalah kebebasan untuk memiliki paham keagamaan radikal. Setiap individu tidak dilarang untuk memiliki paham keagamaan radikal sepanjang yang bersangkutan tidak menggalang kekuatan atau dukungan untuk menumbangkan Pancasila dan UUD 1945. UU baru tersebut diharapkan dapat mengisi ruang kosong dalam peraturan perundangan kita sekaligus menyempurnakan UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan UU No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. UU baru tersebut tidak melarang seorang warga negara untuk memiliki pikiran, paham dan ideologi keagamaan apapun, sepanjang tidak diarahkan untuk menggalang kekuatan dalam rangka menumbangkan Pancasila dan UUD 1945.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H