Mohon tunggu...
Putri Malu
Putri Malu Mohon Tunggu... pegawai negeri -

saya pemalu..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jangan Panggil Aku Butet

22 Februari 2012   06:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:20 578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Namaku butet.B-U-T-E-T. Cukup.hanya lima huruf saja. Atau kalau mau disamakan dengan absensi di sekolahku menjadi Butet Sitorus. Sitorus itu margaku. Dan menurutku nama itu tak indah ditelinga.tak enak untuk didengar. Apalagi gara-gara nama itu aku sering jadi bahan olok-olok teman sekelasku. Mereka sering memanggilku dengan menggunakan nada lagu daerah (atau lagu nasional?) Yang kebetulan berjudul sama dengan namaku. Harusnya aku bangga. Tapi tidak, bagiku tak ada yang bisa dibanggakan dari nama Butet. Aku ingin punya nama yang "normal" seperti teman-teman sekelasku. Seperti Desi, Keyla, Sari atau siapapun. Asalkan bukan Butet.

"Sudahlah Butet.. Tak usah lah kau pedulikan mereka. Mereka terus memanggilmu dengan cara seperti itu karena kau marah. Coba kau tak marah. Aku rasa mereka pun akan berhenti dengan sendirinya", Winda, salah seorang sahabatku menasehati saat aku mengungkapkan kekesalanku tentang perbuatan anak-anak sekelas yang makin sering mengolok-olok namaku.

"Macam mana aku tak marah, Win. Kau tau lah, aku pun tak suka dengan namaku. Kalau mereka mengejek begitu tambah kesal aku", ku tanggapi ucapan Winda dengan wajah kesal yang tak bisa kusembunyikan.

"Kata pepatah, apalah arti sebuah nama. Tak penting itu", kembali Winda berujar. Masih mencoba meredakan rasa kesalku.

"Tapi kata pepatah juga, nama adalah do'a. Tak tahu lah aku, orangtuaku ingin aku menjadi apa sampai memberiku nama Butet. Heran aku, dari begitu banyak pilihan nama bagus yang ada di dunia ini mengapa orangtuaku menjatuhkan pilihan pada nama Butet", kesalku tak juga hilang.

"Kalau begitu, kau tanya saja lah sama Bapak kau. Kenapa kau dikasi nama Butet", kata Winda akhirnya.

Benar juga, kenapa selama ini aku tak terpikir untuk bertanya pada bapakku. Mungkin karena aku merasa kalau bapak tak akan peduli. Pasti bagi bapak urusan sebuah nama hanyalah urusan remeh temeh di tengah kesibukannya bekerja keras di ladang setiap hari. Lagi pula aku takut merepotkan bapak dengan pertanyaan tentang namaku di tengah kerepotannya yang masih harus mengurus rumah seorang diri disela-sela kesibukannya bertani. Ya, bapak memang satu-satunya orangtuaku. Tak seperti anak-anak lain yang memiliki mamak (sebutanku untuk ibu), aku cuma punya Bapak. Mamak, seperti apa sosoknya, tak pernah singgah dalam ingatanku. Mungkin karena aku tak pernah melihat wajahnya. Kata bapak, mamak meninggal saat melahirkan aku.

Rasa ingin tahuku yang besar membawaku menghadap bapak sore itu.
"Pak, kenapa aku diberi nama Butet?", tanyaku tanpa basa-basi.
Bapak tak segera menjawab pertanyaan yang kuajukan. Lama beliau memandangi wajahku sebelum akhirnya menyuruhku mendekat dan duduk di sebelahnya.
"Tahu kau Butet, wajahmu mirip sekali dengan mamakmu. Kau mewarisi kecantikannya", bukannya menjawab pertanyaanku barusan bapak malah membicarakan soal mamak.
"Aku tak tanya soal itu. Yang aku tanya, kenapa aku diberi nama butet", kembali kuulangi pertanyaanku. Kali ini dengan nada yang sedikit kesal.
"Selain wajah, namamu juga adalah warisan dari mamakmu", lagi-lagi bapak masih membicarakan soal mamak.
"Maksud Bapak?", tanyaku tak mengerti.
Setelah menghela napas sejenak akhirnya Bapak memberi penjelasan,"Mamak kau meninggal saat melahirkanmu. Kata dukun beranak dia kehabisan darah. Tentu kau sudah tahu itu. Aku sudah pernah menceritakannya. Sesaat sebelum dia meninggal, dia berpesan padaku agar aku memberi nama Butet pada anak yang dilahirkannya. Itulah sebabnya aku memberimu nama Butet. Itu permintaan mamak kau. Mungkin dia mau agar aku selalu ingat padanya setiap aku melihatmu. Nama mamak kau kan juga Butet. Sama seperti namamu".

Mendengar itu aku terdiam. Tak pernah ku sangka betapa berartinya namaku. Nama yang diwariskan oleh mamakku. Nama yang juga dimiliki oleh perempuan yang rela meregang nyawa demi kehadiranku di dunia ini. Nama yang memiliki makna mendalam terlebih-lebih untuk laki-laki yang sangat mencintai mamak, Bapakku. Buktinya sejak kepergian mamak, Bapak tak berniat menikah lagi.

Timbul rasa bersalah dihatiku karena sempat kesal dan tak suka dengan namaku sendiri. Mulai sekarang, hal itu tak akan terjadi lagi. Mulai sekarang, bila ada orang yang menanyakan namaku, maka akan kuteriakkan "panggil aku Butet", biar seluruh dunia bisa mendengar dan tau namaku..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun