Selain itu, mereka juga percaya terhadap kebudayaan Jawa yang masih dipengaruhi oleh kepercayaan animisme dan dinamisme sehingga agama yang mereka anut bercorak Kejawen atau disebut Agami Jawi yang masih percaya dengan adanya roh-roh halus atau makhluk gaib, yang masih terlihat jelas di dalam perkembangan teknologi (sains).
Pada pembahasannya,Secara historis penolakan terhadap konsep ketuhanan mulai gencar pada abad ke-18 saat sains mulai melemahkan intuitif agama yang ditandai dengan mencuatnya isu positivisme.Â
Paham positivistik memerlukan pembuktianpembuktian rasional yang memungkinkan masyarakat berfikir secara logis tanpa disertai dengan penerapan intuisi agama yang pada akhirnya agama mulai dijauhi oleh masyarakat pada saat itu, yang dalam hal ini digawangi oleh seorang Geolog bernama Charles Lyell (1797-1875) yang secara eksplisit menyatakan penolakannya terhadap alkitab.Â
Di Indonesia, semangat ploretariat juga mulai didengungkan, Tan Malaka seorang pimpinan partai komunis juga beberapa kali menyuarakan penolakan terhadap proyeksi mistis, dalam karyanya yang terkenal yakni "Madilog", ia memunculkan formulasi tentang penolakan terhadap intuitif agama yang secara tidak langsung mengarah kepada sikap ateisme.Â
Dan di tahun 2008 munculah suatu gerakan yang mengatas namakan dirinya sebagai "Indonesian Atheist" dengan terang-terangan menyuarakan pendapatnya tentang Ateisme.
Pada perjalanannya, Indonesian Atheist (IA) menolak Undang-Undang yang telah final, serta berkali-kali menimbulkan perdebatan tentang konsepsi Tuhan. 'IA' menjadi babak baru Pergerakan penolak konsep Tuhan pada abad ke-21 di Indonesia. Dimana 'Indonesian Atheist' mulai bergerak melalui sarana-sarana digital, yang kemudian berevolusi ke dunia nyata dan terjun langsung ke dalam lingkungan sosia-masyarakat Indonesia.
Contoh lain masih adanya fase metafisik di masyarakat sekarang ini adalah "masyarakat masih memkanai bencana alam sebagai hukuman tuhan". atau yang dimaksud dengan mitologisasi bencana, dan religiusitas yang melibatkan Tuhan dalam setiap bencana yang melanda. Mitologisasi bencana merupakan sebuah pandangan yang mengalihkan kenyataan bencana menjadi kenyataan lain pada sebuah realitas bencana yang dihadapi.Â
Seperti gempa bumi yang dikatakan sebagai terbangunnya makhluk raksasa di dalam perut bumi juga merupakan contoh mitologisasi bencana. Dimana Realitas bencana merupakan momen tegangan, juga sebagai krisis yang muncul dari hubungan manusia dengan sesamanya serta alam dan lingkungan, karena bencana berawal dan berujung pada manusia, alam dan lingkungan.Â
Padahal Jika kita menarik garis pada perkembangan Ilmu pengetahuan/ IPTEK, segala sesuatu bentuk bencana Alam dapat di kaji secara Ilmiah dengan hipotesis dari latar belakang yang mendasar secara spesifik terhadap bencana alam yang terjadi, apalagi perkembangan teknologi sudah semakin canggih tentunya 'asumsi' seperti contoh kasus diatas tidak relevan dan artinya, perkembangan teknologi tidak membuat manusia meninggalkan fase Metafisik.
Dengan demikian, Â terhadap perkembangan teknologi sebagai bentuk aplikasi dari fase 'positif', yang dimana pada kenyataannya, tidak membuat manusia meninggalkan fase teologi dan metafisik. dimana manusia cenderung masih mengomunikasikan informasi kejalan pikiran mereka tanpa diimbangi dengan proses penalaran yang sistematis dan konkrit dalam menyimpulkan sesuatu yang seharusnya dapat berpangku pada Ilmu pengetahuan (knowledge).Â
Di samping dari itu, Pada masa ini fase 'positif' Perkembangan Teknologi dan IPTEK telah berkembang cukup pesat. dimana manusia berhasil memformulasikan sesuatu barang atau mengerjakan sesuatu dari hasil campur tangan (sentuhan) manusia itu sendiri, dengan seni pengolahan akal budi pekerti manusia yang secara tekun mengembangkan dan membuat suatu benda bagi kepentingan rohani dan jasmani nya.Â