Senyap membungkus malam ketika sepenggal ragu dan takut mendatangi Mariana. Air mata yang tergenang akhirnya mengalir deras sesaat setelah jarum panjang lewat angka dua belas. Hanya sedetik Mariana bisa melupakan bayangan perempuan itu, selanjutnya bayangan itu kembali hadir di pelupuk matanya. Hanya isak tangis yang mampu meredam Mariana dari rasa takut.
Orang mati tidak mungkin bangkit lagi, Mariana teringat jawaban pak ustadz ketika dia bertanya, “Apakah orang yang sudah mati bisa bangkit dan berkeliaran di dunia?”
Lantas ustadz itu menerangkan panjang lebar, “Kalau orang yang sudah mati, dia berada di alam arwah, jadi tidak mungkin ada di dunia nyata, jika ada yang melihatnya berkeliaran di muka bumi, berati itu syetan. Ingat, syetan itu ada untuk menggoda manusia supaya manusia itu merasa takut, padahal tidak perlu ada yang ditakutkan kecuali Tuhan.”
Malam semakin larut, gigil musim dingin tak juga menggoda Mariana untuk tidur lelap, kata-kata pak ustadz sedikit menghiburnya, apalagi perempuan yang dia lihat sudah meninggal lebih dari tujuh tahun yang lalu. Akhirnya Mariana larut dalam buku bacaan hingga jiwanya ikut mengembara bersama barisan kata yang terukir indah dalam buku favoritnya. Walau sesekali bayangan itu menyapa, tak diendahkannya
***
Bibir pagi telah merekah tatkala layar hape menunjukan pukul 5:45. Mariana segera bangkit dari tempat tidur, burung terdengar semangkin riuh memekakan telinga mungkin salah satunya ada yang mengejek dengan kata '' Dasar penakut!" tapi perduli apa, Mariana melanjutkan membaca buku di kamar mandi, otaknya sudah mampu diajak kompromi,
Anggaplah masalalu itu seperti zaman kebodohan, biarkan kehidupan mengalir seperti layaknya air, dan masalalu itu adalah sesutau yang sudah terbawa arus. Hidup itu pilihan, terserah kamu mau menjadi apa, yang pasti masalalu tak pernah bisa kembali.
Kata-kata di dalam buku ternyata sangat membantu Mariana sehingga ia bisa memulai hari dengan semangat. Jam tujuh tepat Mariana harus membangunkan Thomas, dia juga harus menyiapkan sarapan dan mengantarkan anak majikannya pergi ke sekolah.
Mariana segera masuk ke kamar anak majikannya, dilihatnyaThomas masih tidur dengan lelap, ia membuka horden berwarna cokelat susu secara perlahan, sehingga cahaya pagi menerpa wajah Thomas yang menggeliat manja, Thomas menutup mukanya dengan selimut.
Mariana tersenyum, ia duduk di bibir ranjang sambil membujuk Thomas, tangannya lembut membelai rambut Thomas setelah mencium keningnya.
“Wake up, darling.”
Thomas hanya menggeliat
“Come on! Time for school,” Mariana kembali membujuk “Okay, i’m prepare breakfast, and you get ready. Don’t waitme count till ten.”
Mariana segera menuruni anak tangga menuju ke dapur, majikannya masih tidur, mereka biasa bangun jam 7;30. Dengan tangkas, tangan ramping Mariana mengambil handuk kecil yang menggantung di dapur, handuk berwarna putih bersih itu kemudian dibasahkan, selanjutnya diperas, baru kemudian dipakai untuk mengelap perabotan dapur, meja makan yang terbuat dari kaca sehingga semua terlihat mengkilap. Setelah semua terlihat bersih, ia segera mencuci tangan dan menyiapkan sarapan.
Dituangkannya susu segar ke dalam gelas kecil, kemudian dimasukan roti tawar ke dalam pemanggang roti. Menunggu roti matang, Mariana berlari ke lantai atas, ia memastikan kalau Thomas sudah siap.
Thomas masih berusia lima setengah tahun, sedangkan Mariana sudah bekerja hampir enam tahun, tepatnya ketika Thomas masih di dalam kandungan, Mariana sudah bekerja di keluarga tersebut, keluarg Mr Choi.
Begitu Thomas lahir, ibunya yaitu majikan Mariana tidak pernah perduli dengan anaknya, ia sibuk dengan pekerjaannya di kantor, sehingga Mariana selalu menganggap Thomas seperti anaknya sendiri walaupun Mariana belum pernah terikat perkawinan dan belum pernah menjadi ibu yang sebenarnya. Ia merasa berhasil telah mendidik Thomas menjadi anak yang baik dan cerdas.
***
Sementara itu, di sebuah sebuah agensi ternama, seorang perempuan pucat, berambut pendek agak keriting berdiri memandang keluar jendela, tangan kurusnya yang berotot memegang erat besi jendela, tatapannya kosong sekosong harapannya. Tiga kali sudah dia berganti majikan, namun tak ada satupun yang bertahan, majikan yang paling lama mempekerjakannya cuman satu tahun, padahal kontrak kerja dua tahun, ada saja alasan mereka memutuskan hubungan kerja, mulai dari tidak bisa kerja, tidak bisa berkomunikasi, tidak bisa masak, padahal dia sudah berusaha menurut apa saja kata majikan terkecuali makan babi. Yah, dia Kesih, usianya baru tiga puluh enam tahun, namun wajahnya terlihat lebih tua sepuluh tahun. Tubuhnya kurus, andai hasil medical tidak memperlihatkan kalau dia sehat, pastinya orang menyangka dia penyakitan, mungkin karena itu jarang ada orang Hong Kong yang cocok dengannya.
“Mbak Kesih jadi pulang ke China?”
Suara seorang perempuan yang masih cukup muda mengejutkan Kesih, ia tergagap, tersadar dari lamunannya
“Eh, i…iya jadi, Dik.”
“Nggak pulang ke indo saja, Mbak. Nunggu di rumahkan lebih enak daripada di China.”
“Iya kalau punya duit, Dik.”
“Loh, memange Mbak sudah bekerja berapa lama?”
“Baru empat bulan.”
“Oh…,”
“Saya delapan bulan Mbak, trus dibalikin ke agensi, katanya nggak bisa kerja, dasar majikan cerewet, mungkin dia cemburu takut suaminya kecantol he…he…, pakai alasan nggak bisa kerja. Masa nggak bisa kerja bertahan sampai delapan bulan!”
“Terus gimana? Tapi lumayan juga, sudah habis potongan gaji.”
“Lumayan gimana, Mbak. Saya cari majikan baru, masih potong gaji lagi walau tidak sebesar sewaktu baru datang dari Indo.”
“Potong gaji llagi berapa?”
“Tergantung agensi, Mbak.”
“Tidak perlu nunggu di China?”
“Kebetulan saya langsung dapat majikan, jadi nggak perlu nunggu di China, saya ke China cuman ngecop passport sebagai tanda saya sudah keluar dari Hong Kong.”
“Doakan saya semoga cepat dapat majikan yah, Dik.”
“Iya, Mbak. Sabar ya, ini buat jajan, Mbak. Seadanya hehe…”
Ita, perempuan muda yang cukup cantik berpenampilan seperti penyanyi dangdut itu berlalu dari hadapan Kesih, setelah memaksa perempuan itu menerima uang sebesar $HK 100. Belum sempat Kesih mengucapkan terimakasih, Ita sudah keluar dengan serombongan anak-anak tomboy, Kesih hanya menggelengkan kepala.
Jam menunjukan pukul delapan pagi ketika Kesih teringat kampung halamannya, jika di Hong Kong jam delapan, di rumahnya Indonesia masih jam tujuh, anak-anaknya sedang mempersiapkan diri ke sekolah. Biasanya dia yang membantu anak-anak, sekarang dia di Hong Kong, terlantang lantung menjadi TKW yang gagal, ia menyesali diri, harusnya dia sudah berhasil, sudah bisa mengirim uang untuk anak-anak, tapi apa yang terjadi, nasib baik belum juga memihak padanya.
***
Bagaimana dengan keluarga Kesih.
Walaupun rumahnya berdinding bata, namun kesannya masih sangat berantakan. Kayu dan pecahan batu bata menumpuk di sembarang tempat. Bekas adukan berserak di mana-mana, ini rumah keluarga Kesih, Kesih sendiri yang membangun rumahnya hasil dari kerja selama dua tahun di Malaysia. Tidak seperti para tetangga yang sudah memasang keramik, rumah Kesih masih berlantaikan semen hitam. Perabotan rumahnya sudah bertahun-tahun tak pernah diganti, kursinya terlihat sangat kumal, jika musim hujan, di dalam rumah seperti pelataran, bocor di mana-mana. Itulah yang mendorong Kesih untuk pergi ke Hong Kong, ia ingin memperbaiki rumah dan menyekolahkan anak-anak walaupun kepergiannya ditentang keluarga dan suaminya.
Di ruang tengah rumah itu, seorang anak laki-laki berseragan merah putih membuka tudung saji yang terlihat kumal, penuh lobang sana-sini, meja makan persegi panjang dulunya dibuat untuk tempat jualan sayur, kini digunakan untuk meletakan masakan jika sudah siap.
Anto baru kelas lima Sekolah Dasar, anak kedua Kesih tidak mendapatkan apa-apa selain nasi kemarin yang sudah basi. “Kita sarapan apa pagi ini, Pak.?”
“Malah tanya Bapakmu.”
“Memangnya mau tanya siapa, Pak.”
“Siapa suruh Emakmu pergi ke luar negeri? Memangnya Bapakmu ini sudah nggak bisa ngasih makan lagi? Dasar perempuan tidak bersyukur, biarpun sedikit, aku masih bisa ngasih makan. Mau ditaroh mana mukaku ini.”
Anto tidak mendengarkan bapaknya, dia segera pergi ke sekolah tanpa sarapan. Ia paham dengan sikap bapaknya yang keras, yang selalu merasa bisa menghidupi keluarga, padahal tidak punya pekerjaan tetap. Bapaknya hanya seorang buruh bangunan, itupun kalau ada orang yang mau mempekerjakannya. Kepergian Kesih istrinya ke luar negeri membuat dia merasa gengsi, namun juga menjadi malas dan mudah marah. Apalagi kepergian Kesih sudah lebih dari satu tahun baru mengirimkan uang sekali saja.
Paling istrimu itu kecantol sama China Hong Kong, Jo! Denger-denger di Hong Kong banyak para TKW kecantol sama itu loh… yang mukanya mirip Syahrul Khan. Lah, istrinya si anu ke Hong Kong ndak pernah ngasih khabar, pulang-pulang minta cerai, eh, tidak tahunya dapat bujang katanya kenal lewat computer!
Bisik- bisik tetangga ibarat badai yang tak pernah surut menghempas rumah tangga Parjo dan Kesih.
***
Dia bukan preman pasar, bukan penyanyi rock yang suka manggung di kota-kota besar, bukan orang penting sebangsa presiden America, walaupun sepatu yang dipakainya produk terbaru dari Nike, tentunya dengan harga lebih dari gajih satu bulan bagi seorang TKW, baik baju dan celananya pun bukan beli di sembarang tempat, baju yang dikenakan yang biasa dipajang di mal atau butik-butik terkenal di Hong Kong. Yah, harganya berkisar tiga juta rupiah.
Bukan hanya baju, sepatu, celananya, bahkan rambut tak mau kalah beken dengan artis korea maupun Jepang. Dikasih warna merah, kuning, seperti pelangi bertaburan. Sementara hidung dan lidahnya ditindik ala rocker America dengan rokok tak lepas dari tangan. Tampangnya cool bergaya metropolitan, semua teman-temannya memanggil dia Koko atau Roy.
“Kunghai lei, dah dapat majikan di mana, Lo?” ditatapnya Ita dalam-dalam
“Di Fanling, jaga anak satu, majikan semua kerja, ada Nenek satu.” Ita membetulkan tempat duduknya, mereka sedang duduk menyantap mie rebus di restoran China.
“Iyalah, masa ada dua Nenek.” Roy tak mau kalah, Roy yang bernama asli Rohima telah berubah menjadi tomboy lesbi semenjak di Hong Kong. Walau pun dia sudah punya pacar yang berstatus sama-sama TKW, semenjak mengenal Ita, perhatiannya tertuju pada Ita. Ita sendiri menganggap Roy sebagai teman biasa.
“Maksud gue, nggak ada Kekeknya.” Ita melirik Roy dengan nada sinis yang dibuat-buat, membuat Roy semakin gemas melihatnya.
***
Mariana telah mengantarkan Thomas ke sekolah, sebelum pulang ke rumah, ia harus pergi ke pasar untuk belanja. Mariana singgah ke toko indo, di sana ia akan berkumpul dengan teman-teman sesama TKW sambil menyantap makanan khas Indonesia. Belum sempat Mariana masuk ke toko, ia melihat ribut-ribut, sesame TKW saling mendorong di dalam toko tersebut. Mariana penasaran, ia segera berlari masuk ke dalam ….
Bersambung….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H