Mohon tunggu...
Putri Kumala
Putri Kumala Mohon Tunggu... -

FISHUM; Communication Science 2014

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nih Tengok Arti dan Sejarah Dari Upacara Garebeg

9 Januari 2015   13:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:30 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Garebeg adalah salah satu upacara adat di Kraton Yogyakarta yang sudah ada sejak jaman dahulu kala.Garebeg atau Grebeg sendiri mengandung arti suara angin menderu. Dan mempunyai makna kata dalam bahasa Jawa (h)anggarebeg, yang bearti mengiring raja, pembesar, atau pengantin.Dalam makna perayannya Rajakeluar ke Sitihinggil, diantar atau diiringi bersama-sama oleh segenap putra, sanak saudara, dan para hamba sahaya.

Dalam kitab Negarakertagama, pupuh nomor 63, dijelaskan bahwa Garebeg merupakan upacara adat yang sudah ada sejak berdirinya kerajaan Majapahit. Diriwayatkan bahwa dahulu ada upacara Sesaji Pasadran Agungyaitu upacara suci yang selalu diselenggarakan oleh Maharaja Hayamwuruk untuk menghormati arwah para leluhur. Dalam upacara tersebut Baginda memerintahkan untuk membuat Gunungan Mandra Giri yaitu gunungan yang berisi nasi yang dilengkapi dengan beragai jenis lauk-pauk, yang kemudian dibagikan kepada rakyat. Upacara itu juga disertai dengan keramaian berwujud pertunjukan di alun-alun, yang dirayakan oleh seluruh lapisan masyarakat yang datang dari seluruh penjuru wilayah kerajaan Majapahit. Perayaan itu diadakan selama sepekan dan diadakan sekali dalam setahun.

Setelah kerajaan Majapahit runtuh dan berdiri kerajaan Demak yang dipimpin oleh Raden Patah, upacara adat tersebut tetap dilestarikan. Namun oleh Wali Songo upacara adat tersebut diarahkan dan ditujukan ke Islam.

Dari sejarah itulah diketahui bahwa Garebeg muncul pada awal masa Kasultanan Demak.Seiring waktu yang terus berjalan Garebeg mengalami berbagai perubahan dan perkembangan, sebelum menemukan bentuknya seperti yang dilaksanakan di Kasultanan Yogyakarta dalam abad XIX hingga abad XX.

Garebeg pertama kali dilaksanakan di Kasultanan Yogyakarta pada masa Sri Sultan Hamengku Buwana I. Garebeg langsung dilaksanakan oleh Sri Sultan saat pengerjaan Kraton Kasultanan Yogyakarta telah selesai.Oleh karena itu, sejarah Garebeg di Kasultanan Yogyakarta merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah Kraton Kasultanan Yogyakarta itu sendiri.

Namun Garebeg yang setiap tahunnya dilaksanakan tiga kali, sempat beberapa kali tidak dilaksanakan, pada jaman pemerintahan Sultan Sepuh atau Sri Sultan HB II, saat terjadi penurunan paksa Sri Sultan HB II dari tahta kerajaan oleh Gubernur Jenderal Daendels. Dan saat pemerintahan Sri Sultan HB IX perubahan besar terjadi pada tata cara Garebeg. Semisal, tradisi malema atau selikuran yang diselenggarakan dalam bulan Mulud dihapuskan.Tradisi pasowanan Garebeg yang diselenggarakan dalam setiap Garebeg di kompleks Sitihinggil-Pagelaran, juga dihapuskan.Namun Sri Sultan HB IX tetap menylenggarakan pasowanan Mulud yang wajib di penuhi oleh para Raja Jawa sejak jaman Kasultanan Demak.

Walaupun Garebeg mengalami banyak perubahan dalam tatacara pengadaannya, esensial dari Garebeg tetap dijaga dengan baik hingga saat ini oleh penerus Sri Sultan HB I. Hanya saja, pemaknaan oleh rakyat sekarang yang berubah. Dari upacara adat untuk memperingati hari-hari besar agama Islam, menjadi adat istiadat Kejawen yang selalu diperingati 3 kali dalam satu tahun.Tanpa terlintas makna agama Islam di dalamnya. Karena kurangnya pengetahuan masyarakat masa kini tentang sejarah Garebeg dan kegunaan yang sesungguhnya.

Dari pemaparan sejarah lisan diatas, sudah terbukti bahwa Garebeg adalah peninggalan Mataram Islam yang berkaitan erat dengan berdirinya Kasultanan Yogyakarta dan kota Yogyakarta sendiri. Oleh karena itu, perlunya peran masyarakat Jawa khususnya Yogyakarta ikut melestarikan kebudayaan tersebut. Agar Yogyakarta tetap menjadi kota yang Teristimewa di tengah laju perkembangan jaman.

Waktu-waktu Pelaksanaan Garebeg

1.Garebeg Mulud

Garebeg Muluddiselenggarakan pada bulan Mulud, atau tepatnya 12 Rabiulawal, untuk memperingati hari lahirnya Nabi Muhammad SAW. Adapun tata urutan Garebeg Mulud sebagai berikut :

a.Upacara Gladi Resik, upacara ini bertujuan untuk mempersiapkan prajurit kraton dalam acara tersebut.

b.Upacara Tumplak Wajik, upacara ini pertanda untuk dimulainya acara Garebeg.

c.Upacara Penyampaian Hajad, upacara ini digambarkan dengan Gunungan yang dikeluarkan dari Kraton dan dibawa menuju Masjid Agung.

2.Garebeg Pasa/Syawal/Bakda

Garebeg Pasa dilaksanakan untuk menghormati bulan suci Ramadhan dan malam Lailatul Qadar.Upacara ini sudah ada sejak Sri Sultan HB I dan terus dilaksanakan sampai Sri Sultan HB VIII (1921-1939). Di jaman Sri Sultan HB IX upacara ini mengalami banyak perubahan karena pada saat itu rangkaian upacara Pasowanan Selikuran dan 1 Syawal, Sri Sultan HB IX, tidak duduk di Dapar Kencana(tempat duduk kebesaran Raja) dan tidak memakai busana Keprabon(pakaian kebesaran Raja).

3.Garebeg Besar

Garebeg Besar dilaksanakan untuk memperingati hari Idhul Adha yang dilaksanakan pada bulan Zulhijah, oleh karena itu dinamakan Garebeg besar. Dahulu pada waktu Garebeg besar selalu diadakan Pasowanan Garebeg di Sitihinggil,sama seperti Garebeg di waktu lain, namun pada Garebeg Besar SriSultan tidak keluar dari Kraton, melainkan hanya pengawalnya yang berada di Masjid Agung menyembelih dan membagikan daging hewan kurban.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun