Waktu menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Acara TV favoritku baru saja selesai. Dengan mata setengah terpejam karena kantuk yang mulai menyerang, tanganku meraba-raba sofa yang kududuki untuk mencari remote TV. Kutemukan remote di antara bantal sofa. Dengan segera kumatikan TV yang tersandar di sudut ruang tengah.
Baru saja aku akan beranjak menuju tempat tidur ketika kudengar deru mesin kapal barang yang tampaknya akan berlabuh di dermaga depan rumahku. Ya, aku tinggal di sebuah desa di tepian Twentekanaal, sebuah jalur lalu-lintas air di provinsi Gelderland dan Overijssel yang menghubungkan tiga kota besar di regio Twente. Jalur sibuk yang dilewati puluhan kapal barang setiap harinya.
“Sial,” gerutuku sambil menyambar jaket dan buru-buru mengenakan lars karetku.
Kuurungkan niatku untuk tidur. Kantuk yang tadi menyerang terusir oleh kejengkelan yang muncul. Setengah sebelas malam. Seharusnya tidak ada lagi kapal yang boleh berlabuh. Itu kesepakatan kami dengan rijkswaterstaat (kementrian pekerjaan umum Belanda) saat mereka memperluas dermaga hingga berbatasan langsung dengan rumah kami. Dermaga baru ini berada di jalur hijau. Lewat jam delapan malam tidak ada lagi kapal yang boleh berlabuh, dan tidak ada kapal yang boleh menyalakan generator saat mereka berlabuh.
Namun kesepakatan ini berulang kali dilanggar. Sering kali kapal berlabuh di atas jam 8 malam. Kadang pula generator tetap menyala saat kapal berhenti di dermaga. Bau diesel dan bising deru mesinlah yang mengganggu kami. Itu juga yang menjadi alasan kami dulu untuk menentang perluasan dermaga.
Aku bergegas menuju kapal yang baru saja berlabuh. Dalam benakku telah tersusun kata-kata dan bersiap menyemprotkan protesku.
Namun… Deg. Jantungku seperti berhenti berdetak saat terbaca olehku nama kapal yang baru berlabuh itu.
Silencio.
Langkahku yang mantap tiba-tiba terhenti. Aku hanya mampu berdiri terpaku diantara barisan pohon ek yang menjadi pembatas dermaga dan halamanku sambil mengamati gerak-gerik seorang awak kapal.
Dalam temaram lampu dermaga terlihat olehku seorang pemuda berdiri di dek kapal bersiap melepaskan tambang untuk menambatkan kapal. Deru mesin pun mengeras beberapa saat, kemudian mereda dan senyap. Kini hanya suara beberapa burung malam dan gonggong anjing di kejauhan yang terdengar. Aku tidak tahu lagi sudah berapa lama aku berdiri di sana.
Aku terjaga dari diamku saat kulihat pemuda yang tadi berdiri di dek itu meloncat keluar dari kapalnya. Agaknya dia melihatku. Langkah tegapnya pelan menghampiriku. Walau gelap, aku sangat mengenal sosoknya. Lengannya yang kekar, dadanya yang bidang, dan mata birunya terbayang jelas dalam benakku.
Jantungku berdetak semakin kencang ketika dia hanya berjarak beberapa langkah dariku. Aku memutuskan untuk segera berbalik dan melangkah cepat menjauhinya.
“Mentari!” serunya memanggilku.
Aku tak menghiraukannya. Sambil merapatkan jaket yang tadi kupakai dengan tergesa aku mempercepat langkahku.
“Mentari, tunggu!”
Langkahku tersentak terhenti ketika kurasakan tangan yang tiba-tiba mencengkeram lenganku.
“Mentari,” paggilnya sekali lagi sambil memutar pundakku hingga menghadapnya.
Aku tak menjawab sapaannya. Hanya diam. Menatapnya tajam tanpa kata.
“Mentari… Aku tahu kamu marah. Maaf, Mentari… Aku tahu, tak seharusnya kami merapat semalam ini. Sluismeester (penjaga pintu air) tidak mengijinkan kami masuk ke Ijssel. Arus saat ini terlalu deras dan tidak aman untuk dilewati malam hari. Dermaga lama sudah penuh, jadi kami terpaksa merapat di sini,” panjang lebar dia memberi penjelasan kepadaku.
Siang tadi memang kudengar di radio bahwa permukaan air di Ijssel meninggi. Sungai yang merupakan anak cabang sungai Rhein yang bersumber di Jerman itu mendapat kiriman air akibat salju yang mulai meleleh di sana.
“Kami tidak menghidupkan generator kok. Tuh mati kan mesinnya…,” katanya lagi sambil menunjukkan wajah lucunya untuk membujukku..
Dan.. ah.. senyumnya…
Senyum yang dibentuk oleh bibir tipis sempurna yang tampak pas dengan wajah tampannya. Bibir yang selalu membuatku ingin melumatnya karena gemas.
“Maaf, ya, Mentari…,” tangannya tiba-tiba meraih pinggangku. Merapatkan tubuhku ke pelukannya. Tinggiku yang hanya sedadanya membuatnya menunduk ketika dia berusaha menciumku.
“Christiaan…!” seruku pelan sambil mendorongnya menjauh dariku.
Christiaan melepaskan pelukannya dan memandangku dengan wajah tanya.
“Kamu… kamu tahu, aku tidak mau kamu berlabuh lagi di sini,” jawabku atas wajah tanyanya.
“Oh, Mentari… please…”
----
Christiaan, pertama kukenal sekitar sembilan bulan yang lalu. Saat itu Silencio sudah berlabuh di dermaga baru ketika sebuah kapal berbendera Polandia mulai merapat di dermaga ini.
Waktu masih menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Kapal masih boleh merapat di dermaga baru. Aku hanya mengamati dari jendela ruang tengahku sambil berharap mereka segera mematikan mesin kapal. Namun hampir satu setengah jam berlalu, kapal berbendera Polandia itu belum juga mematikan mesinnya. Aku mulai kehabisan kesabaran.
Segera kudatangi kapal itu, kuketuk lambung kapal dan berharap seseorang keluar dari kapal agar aku dapat menegurnya. Namun lama tak seorangpun terlihat. Aku hampir putus asa ketika akhirnya kudengar suara dari kabin kru kapal. Aku segera menuju kabin mereka dan sekali lagi mengetuk lambung kapal. Tetap tak ada jawaban, walaupun aku tahu mereka ada di dalam kabin. Aku berusaha meraih pintu kabin. Namun tubuhku yang kecil dan jarak antara dinding dermaga dan lambung kapal yang tidak pendek membuatku tak mampu menjangkaunya. Aku berusaha berteriak memanggil mereka dari luar. Suaraku bercampur dengan deru mesin kapal itu.
Seorang awak akhirnya keluar. Dia hanya memandangku tanpa kata tanpa ekspresi.
Aku pun mulai menyapanya dalam bahasa belanda. Dia menyahut dalam bahasa yang tak aku pahami sambil menunjukkan ekspresi bahwa dia tidak memahamiku.
“Sprechen Sie vielleicht Deutsch?” tanyaku kemudian.
Dia hanya menggerakkan bahunya tanda dia tidak mengerti apa yang kumaksudkan.
“English?” tanyaku lagi.
Lagi-lagi dia menggerakkan bahunya. Lalu berkata-kata lagi dalam bahasa yang tak kupahami sambil berbalik menuju kabinnya lagi.
“Eh, meneer! Tunggu sebentar,” seruku berusaha mencegahnya pergi.
Dia hanya menoleh sesaat sambil melambaikan tangan dan melangkah pergi. Aku tambah meradang.
Di tengah kejengkelanku, tiba-tiba berdiri di sebelahku seorang pemuda yang tak kuketahui darimana munculnya.
“Wat is er…? Ada apa?” tanyanya padaku.
Aku berusaha menjelaskan duduk persoalannya. Dia mengerti.
“Tunggu di sini,” katanya sambil meloncat lincah menaiki badan kapal.
Amarahku sesaat mereda ganti mengagumi lentur badan pemuda itu.
---
Christiaan. Itu nama yang dikenalkannya padaku saat aku mengompres kelopak matanya yang membiru akibat pukulan awak kapal berbendera Polandia itu. Perdebatan yang baru saja berlangsung berakhir dengan baku hantam. Christiaan yang berniat membelaku terpancing emosi saat lawan debatnya mulai melecehkan aku melalui kata-katanya. Untung saja awak kapal lain segera melerai mereka berdua.
Aku memapah Christiaan kembali ke kapalnya dan berusaha merawat lukanya sebagai ungkapan terima kasihku.
“Teh ada di rak paling atas sebelah kiri,” katanya tiba-tiba sambil memijat-mijat pelan kelopak matanya.
“Eh…?” sahutku tak paham.
“Aku mau menawarimu minum teh tapi kepalaku masih nyeri. Kalau mau, buat sendiri ya,“ jawabnya sambil tersenyum.
Aku melirik arlojiku. Saat itu waktu sudah sangat larut. Aku tahu, seharusnya sudah saatnya aku kembali ke rumah. Tapi entah kenapa, aku menikmati berada di dekatnya, laki-laki yang baru kukenal beberapa saat yang lalu.
Kulangkahkan kakiku menuju rak yang ditunjuknya. Hanya dua cangkir yang kubuat, karena hanya kami berdua yang berada di Silencio saat itu.
Rasa enggan beranjak menuju rumah membiarkan obrolan kami mengalir semakin hangat, menghadirkan rasa yang lama kurindu.
---
Silencio berlabuh hampir setiap akhir pekan sejak saat itu. Awak kapal yang lain mempergunakan waktunya untuk pulang ke rumah masing-masing. Christiaan tetap tinggal dalam kapal dan aku selalu mengunjunginya. Seperti seorang abg yang baru saja jatuh cinta, jantungku seperti meletup-letup kegirangan setiap saat dari jendela ruang tengahku aku melihat Silencio berlabuh.
Hari-hari pertemuan kami menjadi pengisi kehampaan dalam hidupku sebagai seorang perempuan normal. Aku mulai mencandu wangi tubuhnya. Aku mulai menikmati setiap pelukan dan cumbu mesranya. Aku mulai mengenal setiap lekuk dalam setiap jengkal tubuhnya. Aku merasakan damai dalam rengkuhan kekar ototnya.
Kedekatan kami membuatku menciptakan sebuah ruang baru dalam hatiku. Ruang baru yang seharusnya tak pernah tercipta. Ruang yang semakin meluas yang mengalahkan rasa bersalahku, hingga kenyataan berdiri di depan pintu.
---
“Maafkan aku, Christiaan,” bisikku lirih saat itu.
Christiaan hanya terdiam tersandar pada batang ek tua di ujung dermaga. Mungkin dia sedang berusaha mencerna penjelasanku.
“Seharusnya sejak awal aku jujur padamu,” lanjutku pelan.
Christiaan tetap tidak bereaksi, namun kulihat sebutir air mata menetes dari ujung mata birunya. Aku tidak berani berkata apa pun lagi. Tak juga berani memandang wajah sedihnya.
“Mentari…” panggilnya pada akhirnya.
Aku memandangnya. Menunggu kata-kata lebih lanjut darinya.
“Kamu mencintainya?”
Aku hanya diam, tak bisa menjawab pertanyaannya.
Bukan,bukan karena aku tak mau menjawabnya. Tetapi aku memang tidak tahu jawabannya. Aku tidak bisa menjelaskan perasaanku terhadap Gerard, pria yang saat itu terbaring lumpuh di atas kasur kamarku. Pria yang sudah lima belas tahun hidup bersamaku walau kami tak pernah menikah.
“Kamu mencintaiku?” tanya Christiaan lagi.
“Aku… aku mencintaimu,” jawabku sambil menahan air mata yang hampir tak terbendung.
“Tapi Christiaan, aku tidak bisa meninggalkan Gerard. Dokter menyatakan Gerard cukup sehat untuk dirawat di rumah, karena itulah mereka mengembalikan Gerard kemari setalah tiga bulan dia berada di verpleeghuis. Dia tidak perlu lagi dirawat di rumah perawatan,” kataku lebih lanjut.
“Seharusnya aku menceritakan keberadaan Gerard lebih awal kepadamu. Seharusnya aku tak membuka hatiku untukmu. Seharusnya kita tidak pernah dekat. Seharusnya kita tidak pernah melakukan apa yang pernah kita lakukan. Seharusnya… seharusnya…” aku terisak tak mampu meneruskan perkataanku.
Christiaan beranjak memelukku. Mendekapku erat dalam hangat bidang dadanya.
“Tinggalkan Gerard, Mentari…” katanya pelan.
“Apa yang bisa kamu harapkan dari pria yang usianya hampir dua kali usiamu dan kini terbaring tak berdaya? Jangan kamu korbankan usiamu yang masih muda hanya untuk menepati janji konyol yang pernah kamu ucapkan! Bagaimana mungkin kamu bisa berjanji untuk tidak pernah lagi berhubungan dengan lelaki lain? Dia kini di akhir hidupnya, sementara kamu berada di awal hidupmu!”
“Tapi, Christiaan…”
“Tapi apa?” potong Christiaan, “hanya karena kamu ingin membalas budinya membayar hutang orangtuamu lima belas tahun yang lalu, kau korbankan hidupmu sampai saat ini?”
“Mentari,” lanjut Christiaan lagi, “kamu wanita yang cantik, cerdas, kuat, dan penuh impian. Kamu berhak punya masa depan yang lebih indah daripada hidup yang saat ini kaupilih.”
Aku tambah terisak. Dadaku terasa sesak. Ingin rasanya aku berucap, “bawalah aku pergi dari sini, Christiaan…” namun tenggorokanku terasa tercekat teringat janji yang telah terucap.
“Biar aku bicara dengan Gerard,“ pinta Christiaan.
“Tidak… Jangan… Gerard seorang pencemburu. Dan dia kini sedang sakit. Aku tidak mau membuatnya marah dan menambah sakitnya.”
“Mentari…” Christiaan berusaha memotongku namun aku meneruskan ucapanku.
“Hormati keputusanku, Christiaan. Tinggalkan aku, lupakan cerita tentang kita. Dan aku mohon, jangan pernah berlabuh lagi di sini”
Christiaan menatapku tajam, lama diam, lalu berkata, “Baiklah, Mentari… aku menghormati keputusanmu. Hanya kamu yang tahu apa yang terbaik untukmu. Namun ingatlah, Mentari, hanya satu orang di dunia ini yang benar-benar membutuhkanmu, yaitu dirimu sendiri. Jangan pernah kamu melakukan hal konyol yang menyakiti dirimu sendiri…”
Christiaan menutup ucapannya dengan lirih lalu melepaskan pelukannya. Dia berbalik tanpa kecupan, melangkah menjauhiku.
Dari kejauhan aku melihatnya melompat ke dek Silencio. Dan aku tetap terpaku diam di ujung dermaga, dengan sakit di dada yang tak tertahankan.
Sejak saat itu Silencio tidak pernah berlabuh lagi di dermaga baru ini. Hingga hari ini…
---
“Kamu belum mengubah pikiranmukah, Mentari?” tanya Christiaan memecah sunyi di antara kami.
Aku tak menjawabnya.
“Apa kabar Gerard?” tanyanya lagi.
“Baikan,” jawabku pendek.
Kembali kami terdiam. Mungkin Christiaan sama denganku, tak tahu apa yang harus diucapkan saat ini. Tercipta sunyi di antara kami.
Hatiku bergemuruh. Tak tahu rasa apa yang melanda. Antara aku menginginkannya kembali dan rasa bersalah terhadap janji kepada Gerard.
“Mentari,” Christiaan memecah sunyi lagi, “aku… aku merindukanmu…”
Tangannya meraih daguku, mengarahkan mukaku untuk menatapnya.
“Aku… juga,” jawabku.
Pelan kurasakan mukanya mendekat ke arah mukaku.
Aku memejamkan mataku. Kurasakan bibir lembutnya mulai menyentuh bibirku, mengalirkan kehangatan yang mengalahkan dingin malam ini. Aku tak menolaknya.
Kubiarkan tangan Christiaan membimbingku berjalan menuju Silencio.
Kuhapus bayangan Gerard yang tergeletak di ranjang. Kuusir rasa bersalah yang mendera.
Telah kuputuskan kali ini untuk menikmatinya, karena aku mendambanya. Merasa kembali rasa yang kurindu.
Dalam sunyi malam ini, aku ingin memanja diriku.
En Silencio.
---
Eefde, 1 oktober 2014
Sumber gambar: koleksi pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H