Pengalaman menonton konser di Korea untuk pertama kalinya benar-benar menjadi pelajaran trial and error bagi saya. Mungkin karena ini adalah konser gratis, fasilitas yang disediakan terasa kurang memadai. Saya bisa mengatakan begitu karena nomor antrean (QN number) tidak digunakan sebagaimana mestinya, seperti pada konser-konser biasanya. Alhasil, antrean menjadi tidak teratur, tidak sesuai dengan nomor yang dimiliki. Selain itu, staf pada konser Yet to Come ini sulit diajak berkomunikasi menggunakan Bahasa Inggris dengan pengunjung asing seperti saya. Mereka hanya menjawab dalam bahasa Korea, bahkan untuk bahasa Inggris dasar pun mereka enggan.
Namun, kacaunya operasional tidak membuat semangat saya luntur untuk bertemu BTS. Kekurangan-kekurangan tersebut langsung terbayar lunas oleh penampilan mereka yang luar biasa! Saya merasa jarak 3.269 mil yang saya tempuh dari Jakarta ke Korea Selatan sama sekali tidak sia-sia. Fireworks, pencahayaan, tata panggung, dan performa Boy Group pelantun Dynamite itu benar-benar memukau. Apalagi, saya bisa melihat personel BTS secara langsung dengan mata kepala sendiri. Bonus yang saya dapatkan dari menonton konser langsung di Busan adalah, saya juga bertemu dengan teman-teman ARMY baru dari berbagai negara, yang membuat pengalaman ini semakin tak terlupakan.
Walaupun ada beberapa kekurangan, bubaran konser di Korea sangatlah rapi. Crowd control-nya patut diacungi jempol karena kerumunan berhasil dibubarkan dengan teratur. Saya pun masih sempat bersantai bersama teman-teman sebelum kembali ke hotel. Namun, transportasi di Busan ternyata tidak sebanyak di Seoul. Apalagi saya masih membawa koper, sehingga cukup merepotkan untuk menuju hotel tempat saya menginap. Akhirnya, saya terpaksa menggunakan taksi. Menggunakan taksi saat itu bukan perkara mudah karena ini adalah waktu bubaran konser, jadi saya harus antre cukup lama untuk mendapatkan taksi, di tengah malam yang semakin dingin.
Sekadar catatan, sopir-sopir taksi di Busan sangat minim kemampuan berbahasa Inggris, dan hanya sedikit yang memahami tulisan romawi. Akhirnya, saya meminta bantuan warga lokal untuk membantu menunjukkan alamat tujuan saya dalam huruf Hangeul. Hal itu menjadi pengalaman yang tidak akan pernah saya lupakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H