Tindakan pemberian Izin Usaha Perkebunan (IUP) di dalam kawasan hutan oleh kepala daerah dan tidak adanya penegakan hukum yang memberi efek jera, mengakibatkan pelanggaran hukum seperti ini makin sering terjadi. Dengan alasan ekonomis seperti akses terhadap kayu dan ganti rugi lahan yang murah, hutan-hutan alam akhirnya banyak berganti dengan tanaman sawit.
Laporan dari berbagai LSM dan Badan Pemeriksa Keuangan menyebutkan bahwa perusahaan perkebunan sawit sudah tidak segan-segan untuk melakukan pembukaan lahan dengan membabat hutan tanpa izin pelepasan kawasan. Tidak mudahnya akses wilayah dan informasi yang minim dari pemerintah daerah mengenai perkebunan-perkebunan yang izin lokasinya berada di dalam kawasan hutan menjadi alasan mengapa hal ini tidak mampu tertangani.
Ekspansi Besar-besaran Pada Produksi Kayu Lapis dan Kertas
Hingga kini, Indonesia masih disebut-sebut sebagai negara penyumbang emisi terbesar ketiga di dunia karena telah melakukan penebangan hutan yang berlebihan, yang menyebabkan laju deforestasi mencapai 2 juta ha per tahun. Ekspansi besar-besaran juga terjadi di sektor produksi kayu lapis dan kertas, permintaan terhadap bahan baku kayu jauh melebihi kemampuan pasokan legal.
Jika disimpulkan, maka penyebab langsung paling utama dari deforestasi dan degradasi hutan ini meliputi ekspansi pertanian, ekstraksi kayu dan pembangunan infrastruktur. Sementara penyebab utama tidak langsung meliputi faktor-faktor ekonomi makro, faktor tata kelola, dan faktor lain seperti faktor budaya, faktor demografi dan faktor teknologi.
Padahal deforestasi dan degradasi hutan menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati. Flora hutan yang seharusnya menjadi pasokan makanan sekaligus tempat tinggal bagi satwa hilang karena penebangan dan satwa yang hidup dengan mengandalkan hutan sebagai rumah dan pasokan makanannya menjadi punah. Satwa yang juga menjadi penyeimbang ekologi, begitu hewan keystone species punah (atau hilang secara lokal), akan terjadi efek domino di dalam ekosistem tersebut, yaitu ikut punahnya spesies lain (atau hilang secara lokal) yang berujung pada kerusakan ekosistem secara menyeluruh. Begitu juga, konversi hutan menjadi lahan pertanian, pendapatan yang besar akan didapatkan oleh masyarakat pedesaan, namun seringnya akan mendorong pemiskinan ekosistem maupun masyarakat.
Tentu permasalahan ini tidak akan terjadi jika pemerintah bertindak tegas terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi sejak awal. Memberikan izin pinjam pakai kawasan hutan terhadap KP seharusnya dilakukan secara selektif agar menggerakkan perekonomian negara tanpa mengorbankan fungsi ekologis.
Karena jika hutan ditebang, maka biomassa yang tersimpan di dalam pohon akan terurai dan melepaskan gas karbon dioksida (CO2) sehingga konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) meningkat di atmosfer. Saat ini, memang telah ada REDD+ sebagai salah satu inisiatif global yang sedang digencarkan sebagai solusi yang memiliki tujuan menurunkan emisi karbon dari deforestasi dan kerusakan hutan dengan memberikan kompensasi secara finansial kepada negara-negara yang mampu melakukan upaya tersebut.
Selain itu Departemen Kehutanan juga turut mewujudkan transparansi di bidang kehutanan dengan menyediakan informasi sumber daya hutan yang menyeluruh dan terintegrasi untuk menggambarkan kondisi hutan Indonesia sebagai kebutuhan dasar dalam pengambilan keputusan yang tepat dalam mencapai pengelolaan hutan yang lestari dan berkesinambungan dengan nama Forest Resources Information System atau FRIS.