Akan ditutupnya layanan Blackberry oleh Tifatul Sembiring selaku Menteri Komunikasi dan Informatika masih terus meramaikan pemberitaan di Indonesia. Alasan yang paling menarik perhatian adalah karena RIM Blackberry tidak memasang software blocking terhadap situs porno. Alasan tersebut didasarkan pada UU nomor 44 tahun 2008 tentang pornografi, undang-undang yang sampai saat ini masih menuai kontroversi. Berbicara soal pornografi saya teringat akan sebuah penelitian dari University of Montreal tentang pengaruh pornografi pada pria. Penelitian ini didanai oleh Interdisciplinary Research Center on Family Violence and Violence Against Women. Dari hasil riset selama dua tahun di Kanada, Montreal University associate professor Simon Louis Lajeunesse membantah pandangan bahwa penggemar pornografi mencari dalam kehidupan nyata apa yang mereka lihat dalam pornografi, yang dianggap mengarah ke pelecehan seksual atau merendahkan perempuan. [caption id="attachment_84627" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi/Admin (AP Photo)"][/caption] Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa 90 persen dari pornografi dikonsumsi di internet, sedangkan 10 persen dari toko video. Rata-rata, pria lajang menonton pornografi tiga kali seminggu selama 40 menit. Mereka yang memiliki hubungan berkomitmen menonton rata-rata 1,7 kali seminggu selama 20 menit. Semua subjek percobaan mengatakan bahwa mereka mendukung kesetaraan gender, dan bahwa mereka merasa menjadi korban oleh retorika yang mengutuk pornografi. Studi ini juga menemukan bahwa pria hanya menonton pornografi yang cocok dengan citra mereka sendiri tentang seksualitas. Mereka kerap melewati adegan-adegan yang dianggap ofensif atau mereka anggap “menjijikkan”. Lajeunesse juga membantah anggapan bahwa penggemar pornografi berusaha untuk meniru dalam kehidupan nyata apa yang mereka lihat di layar, atau bahwa mereka menonton video porno dalam upaya untuk memenuhi dorongan seksual yang abnormal. Artinya pornografi tidak dapat lagi dijadikan sebagai tumbal atas melonjaknya kasus pelecehan, terutama secara seksual, terhadap kaum perempuan. Ini adalah sebuah fakta sosial. Fakta sosial ini dibangun di atas kerangka teori yang cukup mapan. Oleh karena itu, bisa saja apa yang selama ini dikoar-koarkan oleh para pengusung rezim moral salah kaprah. Pornografi dijadikan sebagai bulan-bulanan alasan meningkatnya kasus pelecehan seksual terkesan sebagai kesalahan yang sengaja dicari-cari. Sama halnya dengan alasan Tifatul untuk memblokir RIM Blackberry. Bahkan terkesan bahwa pernyataan-pernyataan Tifatul hanya untuk mencari sensasi dan menarik massa pendukungnya secara khusus agar yang bersangkutan dilihat sebagai orang yang anti pornografi. Alasan-alasan lain yang diungkapkan Tifatul seputar tuntutannya kepada RIM Blackberry yang harusnya juga memberi keuntungan bagi Negara Indonesia sudah dibantah secara utuh oleh seorang ahli IT, Onno W Purbo (lihat). Karenanya kebijakan-kebijakan yang diambil Tifatul terkesan tidak pro-netizen yang sangat menekankan kedewasaan dan etika pengguna. Karena hakekatnya pengguna internet sangat menjunjung demokratisasi. Lebih jauh bisa ditilik lontaran-lontaran Tifatul tentang pornografi kemungkinan akan membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpikir ulang jika ingin menurunkannya dalam rencana reshuflle kabinet. Sebab massa pendukung anti-pornografi akan menganggap Tifatul Sembiring sebagai tokoh Islami, yang duduk sebagai menteri dan paling menentang pornografi. Bisa saja.. Bila dilihat dari perspektif tersebut, pornografi justru mengalami pergeseran peran. Sekarang yang terjadi justru adalah pengkomoditian pornografi. Tidak sedikit pejabat yang mengangkat isu ini sebagai pemulus jalan menuju kekuasaan. Pornografi oleh penguasa rejim moral bangsa kita dikonstruksikan dalam alam bawah sadar masyarakat sebagai hantu menakutkan. Hantu yang harus diganyang dan dimusnahkan. Padahal masih banyak permasalahan di kalangan atas sana yang bisa dibenahi, contohnya korupsi. Coba kita sama-sama mengkonstruksikan, bahwa korupsi menjadi hantu yang paling berbahaya. Niscaya para pejabat akan bergidik ketika mulai menyentuh uang rakyat yang masih kelaparan. Lalu munculkan pertanyaan di benak kita, manakah yang lebih berbahaya? pornografi ataukah para pejabat pemburu kekuasaan yang menggunakan pornografi sebagai alasannya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H