Mohon tunggu...
Sholehat Putri Endarti
Sholehat Putri Endarti Mohon Tunggu... -

mahasiswi :)

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kenapa Jujur Itu Sulit?

29 Desember 2014   17:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:14 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah berbohongkah Anda hari ini ? Tidak semua orang bisa dengan mudah berlaku jujur. Lagi-lagi kita berbicara di negara ini. Di negara yang ‘mungkin’ tidak lebih dari 50% manusia nya bisa bersikap jujur. Iya lah kalau tidak mana mungkin negara ini masuk ke daftar salah satu negara dengan tingkat korupsi yang tinggi. Jadi, berbahagialah kalian yang masih memiliki rasa kejujuran dalam diri kalian.

Ketika saya menulis ini mungkin saya terkesan terlalu munafik dan merasa bersih. Saya sendiri juga tidak bisa menghitung sudah berapa banyak kebohongan yang telah saya lakukan sepanjang hidup saya di dunia ini. Benar kata orang-orang, satu kebohongan akan menimbulkan lebih banyak lagi kebohongan. Lucu ketika saya sendiri mengatakan dalam hati, “ya sekali saja berbohong tidak apalah ya” atau “ya saya berbohong demi kebaikan dia juga”. Ternyata intinya saya tetap berbohong dan menutupi kebohongan saya dengan kebohongan-kebohongan yang lainnya. Awalnya mungkin akan merasa takut tapi lama kelamaan karena seringnya berkata bohong akan membuat orang itu terbiasa dan tidak merasakan apa-apa. Dari situlah semua berasal.

Semua berawal dari hilangnya budaya malu. Kita dituntut untuk berani mengeluarkan pendapat, berani berekspresi. Tetapi kita lupa kalau semua itu ada koridornya. Kita pun harus memilah-milah di part mana kita harus memiliki rasa malu. Termasuk rasa malu ketika kita mulai berbohong. Inilah yang semakin hilang dari diri kita.

Saya sendiri bisa merasakan betapa sulitnya saya bisa bertahan untuk selalu menerapkan kejujuran. Kejujuran terhadap orang tua, teman, orang lain, bahkan terhadap diri saya sendiri. Ketika saya harus dirisaukan dengan perasaan ‘nggak enakan’ dan merasa bersalah. Tanpa saya sadari itu semua percuma. Bagaimana pun orang tua kita selalu tau kapan kita berbohong kapan kita jujur. Guru, dosen, teman, bahkan kita sendiri tau. Tuhan malah lebih tau.

Kebiasaan berbohong untuk menutupi kesalahan kita. Kenapa ya orang-orang masih banyak merasa malu untuk mengakui kesalahan mereka. Padahal ketika kita bersalah dengan mengatakan “ya memang kesalahan saya” yang tidak diikuti dengan “tapi kan...” atau alasan pembenar yang lainnya pasti tidak akan ada kebohongan yang ditimbulkan.

Kebiasaan berbohong untuk kebaikan orang lain. Entah bagaimana kita bisa berpikir ini untuk kebaikan mereka padahal kenyataannya ini hanya menunda masalah yang akhirnya akan menjadi bom waktu di kemudian hari.

Kebiasaan berbohong karena “nggak enakan”. Ini lebih buruk lagi karena pada akhirnya justru kesalahan akan dilimpahkan ke diri kita.

Kebiasaan mencontek, kebiasaan titip absen. Tetap saja itu berbohong kan ? Berbohong yang sudah menjadi kebiasaan. Saya ingat sewaktu masih di bangku sekolah ketika mencontek selalu saja saya ketahuan. Saya mengatakan kalau saya tidak berbakat mencontek makanya saya tidak mencontek karena bukannya mendapat jawaban tapi malah ditegur sama guru. Begitupun di bangku kuliah. Saya pernah dua kali titip absen kan teman saya dan selalu saja ketahuan. Saya jadi ingat siapa guru atau pun dosen yang menegur saya sampai akhirnya saya merasa malu ketika berpapasan dengan beliau-beliau. Saya juga masih sangat ingat siapa teman yang akan saya conteki atau teman yang saya titip absenkan. Pada akhirnya saya yang malu dan dipersalahkan. Parahnya teman-teman saya itu bukannya minta maaf malah acuh saja. What the... banget lah kalau diingat-ingat. Makanya sejak saat itu saya berprinsip tidak akan mencontek dan tidak mau dititipin absen sekalipun itu teman yang sudah sangat akrab. Jadi mohon maklum teman-teman saya yang berpikir kalau saya sombong dan lain sebagainya. Entah berapa orang yang berpikiran seperti itu tapi terkadang saya mencoba merasa tidak peduli walaupun sebenarnya saya peduli. Mungkin yang sudah mengenal saya akan mengerti karena saya sudah berulang kali menjelaskan. Tapi yang tidak mengenal saya, saya juga tidak mungkin menjelaskan ke mereka satu persatu. Untuk itu, kadang saya lebih sering menghindarinya. Karena saya tidak ingin berhutang budi dengan mereka. Semua berawal dari hutang budi. Saya berpikir percuma orang itu pintar atau cerdas sekalipun kalau mental berbohong mereka tinggi. Percuma kalian berbicara keadilan kalau kalian tidak bisa adil dengan diri kalian sendiri. Tidak bisa mengakui kesalahan malah menambah kesalahan yang lain.

Pernah saya bertanya pada ibu saya, “Kenapa saya harus jujur kalau sudah tidak ada orang jujur di sini ?” Kemudian ibu saya menjawab, “anggap saja itu bekalmu di hadapan Allah nanti. Kalau dengan jujur hidupmu lebih baik maka jujurlah”. Kemudian saya menyimpulkan, sefrustasi-frustasi nya saya hidup di negara ini bersama orang-orang di negara ini semua akan kembali ke diri kita masing-masing. Jadi, kalau mau memperbaiki negara ini ya perbaikilah diri kita sendiri. Jangan hanya menuntut tapi tidak mau dituntut. Karena apa yang kita tanam hari ini adalah yang akan kita petik di kemudian hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun