Purwakarta, sebuah daerah yang dikenal dengan keindahan alamnya serta kekayaan budaya lokal, memiliki berbagai warisan kuliner yang menggambarkan kearifan tradisional masyarakatnya. Salah satu ikon khas yang tetap bertahan hingga kini adalah simping, camilan tradisional yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas lokal. Simping tidak hanya sekedar makanan ringan, tetapi juga sebuah cerita tentang ketekunan, inovasi, dan cinta terhadap budaya lokal yang diwariskan secara turun-temurun.
Simping yang paling terkenal yaitu simping dari daerah Kaum. Di daerah Kaum, Kelurahan Cipaisan, simping telah diproduksi oleh keluarga Saeful Barkah. Ibu Harmuni, mengatakan bahwa usaha simping ini telah diproduksi sejak tahun 1982 diwariskan secara turun-temurun dalam keluarganya kini memasuki generasi kedua. Simping dibuat dari bahan-bahan sederhana seperti tepung tapioka, tepung terigu, santan dari kelapa asli, garam, gula dan tambahan rasa. Dulu, simping hanya tersedia dalam tiga rasa: kencur, cabai, dan keju. Kini, varian rasa berkembang sesuai selera konsumen, termasuk durian, nangka, stroberi, dan pandan. Â
Rasa kencur yang menjadi rasa andalannya karena memiliki ciri khas unik dengan perpaduan aroma rempah yang kuat dan gurih, membuatnya banyak digemari oleh pelanggan setia, terutama yang menyukai rasa tradisional. Rasa kencur inilah yang menjadi ciri otentik simping sejak pertama kali diproduksi
Proses pembuatannya tetap mempertahankan cara tradisional. Menggunakan cetakan manual berbahan besi, simping dipanggang tanpa minyak. "Cetakan depan biasanya sudah matang, sementara cetakan belakang masih perlu waktu," ujar Pak Indra, salah satu pekerja. Dalam sehari, dua pekerja mampu menghasilkan sekitar 200 bungkus simping, dengan kebutuhan bahan baku berupa 10 kelapa yang dijadikan untuk santan, 20 kilogram tepung terigu, dan 22 kilogram tepung tapioka.Â
Simping dijual dengan harga Rp10.000 per bungkus saat dikirim ke koperasi dan ke toko-toko, sementara di toko harga jualnya mencapai Rp11.000 hingga Rp12.000. Saat ini, distribusi simping tidak hanya terbatas pada toko-toko lokal, tetapi juga supermarket besar seperti Yogya dan Alfamart. Bahkan, produk ini telah merambah Jabodetabek meski belum memasuki pasar internasional. Â
Produksi simping di kawasan Kaum kini berada di bawah naungan Koperasi Simpay Kahuripan, yang mengatur distribusi dan produksi secara adil. "Setiap tempat produksi sudah memiliki pembagian jumlah yang harus dibuat untuk koperasi," kata Pak Indra. Hal ini membuat persaingan antar produsen tidak terjadi, melainkan saling mendukung untuk menjaga kualitas dan kuantitas produk. Â
Simping khas Purwakarta terus diminati oleh berbagai kalangan, baik warga lokal maupun wisatawan. Tradisi yang tetap dijaga ini membuktikan bahwa simping bukan sekadar camilan, melainkan bagian penting dari warisan budaya yang terus hidup hingga kini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H