Oleh Putrida Sihombing
Isu penyeleksian calon pimpinan KPK saat ini cukup menarik perhatian publik. Tercatat terdapat empat anggota POLRI aktif hingga saat ini yang masih lolos dalam tahap psikotest penyeleksian calon pimpinan KPK. Sebagai lembaga yang bertanggung jawab langsung kepada presiden, tata cara pengisian jabatan KPK berdasarkan pasal 30 ayat (1) UU KPK, pimpinan KPK dipilih oleh DPR RI atas calon anggota yang usulankan oleh Presiden RI. Pertanyaan besar yang kemudian muncul adalah, logiskah anggota POLRI ikut serta dalam rangkaian pengisian pimpinan KPK sedangkan pembentukan KPK adalah tindakan responsif atas ketidakmampuan POLRI dan Kejaksaan Agung dalam menindak kasus korupsi tanah air.
KPK merupakan lembaga independen yang di bentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun  2002. Hadirnya KPK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia memberikan implikasi kembalinya kepercayaan masyarakat pada pemerintah dalam hal penindakan kasus korupsi di tanah air. Sebelum KPK lahir, kewenangan memberantas tindak pidana korupsi  berada di bawah naungan POLRI. Namun, kinerja Kejagung dan Polri yang dinilai buruk dan lamban ditambah tidak sedikit pula anggota lembaga penegak hukum ini (Polri) malah menjadi pelaku dalam kasus korupsi.
ICW meliris, bahwa pada tahun 2002-2005 POLRI masih mangkrak menyelesaikan sejumlah 21 perkara korupsi kelas kakap yang jika dijumlahkan mencapai kerugian negara sebesa Rp.1.500 milyar. Belum lagi kasus internal POLRI Irjen Pol Djoko Susilo yang terjerat perkara kasus simulator SIM senilai Rp. 196,87 milyar, pada tahun 2012. Rentetan kasus-kasus diatas setidaknya menyadakan kita bahwa Lembaga Aparat Penegak Hukum (POLRI) masih belum mampun membersikan tata kelembagaannya sendiri dari kasus korupsi, padahal sejatinya merekalah yang seharusnya menjadi pemeran utama dalam pemberantasan korupsi.
Lahirnya KPK tidak kemudian mereduksi kewenangan Kejagung dan Polri dalam memberantas korupsi. Tupoksi KPK, Kejagung, dan Polri telah secara jelas diatur dalam produk hukum lembaga masing-masing, yakni dengan ketentuan bahwa KPK menyelesaikan kasus korupsi  menyebabkan kerugian negara paling sedikit sebesar RP.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Sebaliknya, Kejagung dan Polri menangani kasus koruspsi di bawah satu milyar. Alasan kewenangan tiga lembaga ini dibentuk adalah karena Kejagung dan Polri dianggap lebih dekat dengan masyarakat di daerah. Berbeda dengan KPK, lembaga ini difokuskan menyelesaikan megacoruption cases, yang notabenenya kasus-kasus korupsi besar sering terjadi pada lembaga-lembaga negara.
Implikasi yang mungkin terjadi ketika Pimpinan KPK di isi oleh anggota POLRI adalah tidak ada pembeda antara lembaga independen KPK dengan POLRI dalam menindak kasus korupsi. Inovasi baru terkait penindakan korupsi melalui KPK adalah dengan menghadirkannya akademisi serta unsur masyarakat di dalamnya. Selain itu salah satu karakteristik yang melekat dalam tubuh KPK adalah indenpendensi atau tidak terpengaruh oleh lembaga apapun.
Ketika Pimpinan KPK di isi oleh anggota POLRI dapatkah independensi KPK tetap terjamin dan hubungan  kedua lembaga ini akan professional dan tidak mereduksi fungsi KPK. Terlebih lagi ketegangan antara kedua lembaga ini masih sering terjadi, mengapa? Karena salah satu objek penindakan kasus korupsi dari KPK pun adalah POLRI. Kebutuhan KPK akan skill anggota POLRI sejatinya dapat menempatkan anggota POLRI sebagai penyidik, dan tidak sebagai pimpinan KPK.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H