Mohon tunggu...
Cahya Maulina
Cahya Maulina Mohon Tunggu... -

seorang gadis menginjak dewasa yg mimpikan sebuah keindahan hidup. Mendambakan kedamaian dalam riuhnya ibu kota..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Api Unggun-Kobar-Peluh

4 April 2012   02:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:04 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Bukan inginku untuk pergi

Bukan maksudku padamkan kobaran ini

Aku tersadar terduduk sendiri memandang api yang menjilat-jilat oksigen di permukaan

Aku tahu kenyataan atas kesendirian

Mungkin kita bersama, bersebrangan ditengahi kobarannya

Namun angin mulai bergumul menghampiri kita

Awan pun tak mampu lagi mengantungi ribuan kubik h2o

Setetes demi setetes kemudian berjatuhanlah ia menimpa seluruh benda dibawahnya

Terpecah menjadi molekul yang lebih kecil dan kembali menyatu di daratan menjadi bubur debu

Ya..di tanah lapang ini kita kobarkan api unggun kita

Awalnya kita bergotong royong layaknya kerja sosial

Mengumpulkan satu persatu ranting-ranting bak perasaan yang tercecer

Kita kumpulkan semua itu kemudian di letakkan pada dasar hati

Kau nyalakan korek api cintamu

Bak minyak tanah langsung ku sambut panasmu untuk membakarku

Dan cinta kita pun berkobar

Indah....

Panas....

Kita sambut dengan sorak gembira, tawa riang dan senandung meriah bersama

Menari-nari melingkari api unggun cinta kita

Namun lelah tak dapat ditolak

Peluh yang menetes menderas dan kitapun mulai terduduk

Terbelah kobarannya

Kita masih dapat saling memandang lewat jilatannya yang menyambar-nyambar

Namun kobaran itu semakin besar dan kita pun hampir ikut terbakar

Aku tak dapat melihat mu lagi dibalik sana, begitu juga kau

Aku ingin merangkak menyeberang api untuk meraih mu tapi tak ada daya begitu juga kau

Dan kita kini terduduk diam dengan segala kelelahan ini

Tak berkutik....

Sampai kita sadari angin dan hujan datang

Rasa lelah ini tak kunjung berkurang

Titik air mulai berjatuhan meredam kobaran

Kita kembali dapat berpandangan

Peluh yang membasahi tubuh berganti air hujan dan gemeletuk gigi-gigi kedinginan

Api mulai kehilangan nyawa

Tubuh kita hampir beku

Kau dan aku tetap terduduk ditempat

Kita berpandangan saling berharap keselamatan, namun tetap tak bergerak sejengkal pun

Aku mulai bertanya pada mu dalam hati, apa kau ingin mati di sini?

Aku tak menangkap isyarat mu

Lama ku menunggu hingga kobar tinggal arang kayu, saat itu pula hujan pergi terbawa angin yang begitu ribut

Aku kembali bertanya kepada mu, kali ini dengan gerak bibir

Apa kita harus mati di sini?

Mata mu kosong

Lalu siapa yang akan memadamkan bara ini? Tanya ku kembali

Tubuh mu payah dan mata mu layu dengan sekujur tubuh berguncang hebat

Dan air mata ku pun menetes

Sebesar apa pun cinta berkobar di hati mu dan dirinya, apakah kau tau telah meletakkan kobaran itu di tempat yang benar?. Apakah kalian pastikan badai tidak akan datang ketika lengah?. Entah itu peluh letih, perasaan terbakar atau gigil kedinginan, jangan pernah memutuskan untuk duduk berseberangan. Tetaplah berdampingan dan bergandeng tangan. Jangan pernah lepaskan, jangan berjarak karena kalian tidak akan pernah tahu kapan akan kehabisan tenaga. Dan ketika kobar itu habis berganti arang, penyesalan itu tidak pernah berhenti menyiksa kalian. Kau tak bisa menghentikan dingin ataupun menyundut kembali arang basah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun