Semakin ku berteriak semakin perih pula hati ini. Ku luluh lantakan pazel yang telah lebih dari dua tahun berulang kususun, namun tak kunjung sempurna. Merengek ku mencium lantai marmer yang dingin, tergenang sudah air mata dan bermacam cairan tertetes dari tubuhku.
Aku mulai putus asa. Ku pukul beberapa kali papan pazel yang terserak. Tidak ada yang berubah. Memang tak akan ada yang berubah ketika ku menangis dan menjerit.
Puing-puing pazel itu telah terhambur di seluruh ruangan, namun papannya tetap ku remas. Tidak ada satu nada pun terdengar selain tangis ku yang bergemuruh.
Sore ini kuhancurkan kembali kerja ku menyusun semuanya. Besok pagi buta aku akan memulainya dari awal dan sore akan berakhir layaknya sekarang.
Aku tidak gila namun berusaha gila. Bahkan aku sangat benci dengan kewarasan ini. Aku benci dengan seluruh yang ada di dunia ini, namun kau tidak. Kau mencintai segalanya, begitu juga dengan si gila ini. Kau akan berdiri sepanjang sore di pintu itu tanpa bergeming ketika ku hancurkan segalanya dan menangis tak berirama.
Ketika ku lelah dan terpulas di tengah kekacauan yang ku buat, kau akan mengangkat tubuh ku yang menyedihkan ini dan mengantarnya dipembaringan kemudian kembali keruangan itu untuk merapikan puing-puing pecahan pesawat yang kuciptakan.
Kau menaruh papan pazel penuh luka penyiksaan itu tepat di tengah ruangan. Menumpuk lembar demi lembar pazel menjadi lima menara sama tinggi, meletakkannya dengan formasi bintang di sebelah kiri papan dan melanjutkan dengan mengepel lantai yang telah ku kotori dengan air mata serta lendir.
Kau fikir aku tidak mengetahuinya?. Apa kau lupa bahwa aku tidak gila.
Esok pagi usai perawat membantu ku bebenah diri, kau membawa ku ke meja makan di halaman belakang. Kau mendudukkan aku menghadap ke taman dengan air terjun kecil menempel di tembok. Kau duduk di seberangku membelakangi pemandangan.
Heh..mengapa kau memilih menghadap ku saat makan ketimbang menatap tumbuh-tumbuhan cantik di balik badan mu itu, padahal aku sama sekali tidak memiliki efek penambah nafsu makan.
Kau kontras sekali. Layaknya lukisan, kau selalu tenang dengan tatapan polos berlatar taman indah dan sinar matahari.
Di akhir acara sarapaan pagi kau memecahkan diam mu dengan mengatakan “cobalah untuk makan siang, kau pasti menyukainya” dan kau pun beranjak dari sini, kemudian muncul kembali di ambang pintu sore nanti, ketika semua yang kau susun telah luluh lantah.
Aku mohon, aku tidak mau seperti ini. Aku ingin gila tapi kau tak mengerti. Sungguh aku ingin gila, kenapa tak kau campakkan aku di luar sana. Aku akan menemui kehidupan keras dan terlunta-lunta. Dengan itu aku dapat seutuhnya gila.
Aku ingin gila untuk melenyapkan segala ingatan ini. Aku ingin membuangnya. Aku tidak sanggup menyimpannya menerus.
Apa yang harus ku lakukan agar terlepas dari tetek bengek menyakitkan ini. Aku menanti akhir selama bertahun-tahun. Aku ingin kisah ku berakhir dan gila menjadi pilihan ku. Semua berkata lain.
Kenapa kau harus ada di dunia ini. Apakah hidup mu hanya untuk menghalangi ku menuju akhir. Ingin sekali ku membenci dirimu yang naif terhadap dunia, namun memikirkannya pun tak sanggup, apalagi meraih mu untuk ku lukai.
Aku pun memutuskan berhenti berfikir dan kembali ke ruangan itu, tempat dimana kuhabiskan waktu dengan pazel.
Aku berjongkok dihadapan pazel ku. Memandangi menara keping pazel berformasi bintang. Kemudian beralih pada papan menyedihkan yang selalu kuremas dan ku bentur-benturkan ke lantai setiap hari selama dua tahun lebih.
Kali ini aku tak langsung mulai menyusun pazel itu. Aku hanya memandanginya dan berfikir. Berapa lama waktu yang dihabiskannya untuk memungut satu-persatu keping yang tercecer di ruangan ini. Kemudian ia menumpuknya dan menempatkannya dengan apik membentuk lima sudut dan tengah sudut-sudut itu di taruh batu kali berwarna telur asin. Ia juga mengelap lantai dengan begitu bersih. Bagaimana ia dapat melakukan pekerjaan sia-sia ini dengan penuh detil, sedangkan seharian ia harus mencari nafkah dengan entah aku tak pernah tau.
Tiba-tiba pikaran ku teralihkan. Aku merasakan kehangatan di punuk ku, ruangan pun mulai terang. Seketika ku balikkan tubuhku. Sejak kapan aku tidak pernah memandang sinar matahari ataupun menyadari kehangatannya. Dan ku putuskan beranjak ke ambang jendela besar itu. Tirai putihnya yang halus bergoyang tertiup angin membelai wajah dan tubuhku. Aku hanya terpaku.
Kunikmati cahaya matahari entah berapa lama. Yang kusadari sinar itu mulai pergi dari ku. Hati ku mulai perih kembali. Aku sendiri di sini. Perawat rumah pun pasti telah pergi berjam-jam yang lalu usai membersihkan rumah dan menyiapkan makan siang yang tidak pernah ku sentuh sekali pun bahkan ku lihat.
Rasa takut ku mulai kembali meraja lela. Aku mulai berpikir tentang kegilaan kembali. Sekujur tubuhku menggigil. Aku tak sanggup lagi memeluk sakit ini.
Sungguh aku tak bisa, aku pun kini berpikir mengenai akhir. Gila sebagai akhir yang ku idam-idamkan tak kunjung terwujud. Mungkin aku harus menentukan akhir yang lain, yaitu akhir dari segalanya.
Tubuh ku semakin gemetar ngeri, namun kakiku mulai melangkah. Kedua tangan yang tadinya merangkul diriku sendiri kini telah berpegangan pada pagar balkon. Kuremas balok kayu balkon itu erat, mengumpulkan seluruh keyakinan ku.
Belum sempat kaki ku terangkat untuk melewati balkon, tiba-tiba tubuh ku tertarik kebelakang. Ku rasakan dua tangan kokoh merengkuhku. Sangat erat dan hangat. Aku terpaku.
Tak lama ku rasakan tubuh yang memelukku erat bergetar hebat. Seketika panas menjalar didalam tubuhku bak jilatan api menuju rongga dada dan bulir air mata pun bergelayut di pelupuk.
“Jangan lakukan ini pada ku Dinda”
“jangan”, aku dapat mendengar suara mu yang seperti terbawa angin dan terombang-ambing gelombang.
Raga ku yang menegang seketika lunglai, pandangan ku pun kabur.
“Kau memang kehilangan ibu mu saat kau dilahirkan. Kau memang mengalami kepedihan sepanjang hidupmu dengan ayah yang penuh dengki”. “Kau tata hidupmu di atas serpihan beling berharap pangeran membawamu terbang." Suaranya terputus untuk menelan ludah yang terdengar menyakitkan. "Namun ketika kau terbang kau harus menelan pedihnya petir yang menyambar dan terpaksa terhempas hanya karena rahimmu belum mau menampung kehidupan”. “Dan ketika kehidupan itu hadir, bukan suka cita yang menghampiri, melainkan kenyataan pangeranmu dan burung besinya telah luluh lantah”. “Sakit di hati mu pun menjadi akut hingga calon kehidupan di tubuhmu tak sanggup ikut merasakannya karena kalian bertalian. Ia juga meninggalkan mu”.
“Aku tahu seluruh kemalangan mu Dinda, aku mengerti penderitaan itu memelukmu erat-erat seakan hanya dia lah alasan kau hidup.” “Tapi keegoan ku tak dapat melepasmu.” “keegoan ku tidak dapat membiarkan mu memilih akhir yang kau inginkan.” "Aku inginkan akhir yang ku ciptakan untuk mu.” "Aku mengenal mu jauh dari siapapun“. “Kita tumbuh bersama dan menderita bersama, kita menangis dan tertawa bersama.” “Aku ingin memiliki ayah dan kau ingin yatim piatu seperti ku.”
“Dinda, hanya dirimu yang ku miliki di dunia ini.” “Kumohon biar aku tentukan akhirnya, karena aku....”
“mencintai mu....”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H