Kemampuan memahami teks, angka, dan teknologi digital adalah kecakapan yang dibutuhkan oleh setiap orang untuk menyimpan, memproses, dan mengomunikasikan informasi. Teknik berpikir komputasional dan ilmu komputer pun telah dimasukkan sebagai kurikulum inti masyarakat digital di abad ke-21. Penggunaan istilah "literasi digital" seringkali tidak hanya mencakup pemahaman tentang bagaimana menggunakan perangkat digital, tetapi juga bagaimana menemukan, mengevaluasi, dan menggunakan informasi online.Â
Ketakutan akan berita palsu, ucapan kebencian, eksploitasi privasi yang tidak diinginkan, dan radikalisasi merupakan beberapa efek negatif yang ada di era digital yang justru sebenarnya telah membuat kita semakin terhubung satu sama lain. Literasi digital diperlukan untuk membekali seseorang secara sungguh-sungguh sebagai bagian dari masyarakat digital; di mana setiap individu bertanggung jawab atas setiap perilaku mereka di dunia digital.
Seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi, pengguna media dan informasi, khususnya kaum muda, akan menghadapi banyak tantangan. Super komputer dengan kemampuannya untuk 'berpikir yang tidak terpikirkan' telah memunculkan berbagai teori, ide, ideologi, kemajuan teknik, dan inovasi ekonomi baru. Fenomena "Googlization", sebuah keadaan di mana mengakses informasi secara online dan menemukan jawaban pada situs web telah menjadi sangat mudah sehingga seseorang tidak lagi merasa perlu untuk menghafal sesuatu, telah terbentuk secara global.Â
Kecenderungan semacam ini mengakibatkan individu menjadi kecanduan menggunakan mesin pencari, menjadi kesulitan untuk mencerna informasi, sampai pada akhirnya tidak lagi mampu membaca dan memahami artikel yang panjang dengan mendalam. Patricia Greenfield, profesor psikologi ternama dari UCLA dan direktur Pusat Media Digital Anak, Los Angeles, menyatakan bahwa kemampuan manusia modern dalam berpikir kritis dan analisis telah menurun seiring dengan kemunculan teknologi yang telah mulai memainkan peran lebih besar dalam segala aspek kehidupan.
Sebuah studi terkini yang dilakukan oleh MindEdge menunjukkan bahwa banyak dari generasi millennial kekurangan keterampilan berpikir kritis. Ketidakmampuan membedakan informasi palsu di kalangan generasi millennial ini sangat lah problematik, di mana 55% dari generasi ini mengandalkan media sosial untuk menemukan dan membaca berita, sementara 51% lainnya sangat intens berbagi konten di media sosial, dan 36% sisanya tanpa sadar telah membagikan informasi yang tidak akurat.
Temuan ini secara konsisten mendukung temuan survei Universitas Stanford, di mana siswa sekolah menengah, sekolah menengah atas, dan perguruan tinggi tidak dapat membedakan antara berita, iklan, dan opini.
Teknologi dan pemikiran kritis cenderung memberi pengaruh yang saling berkebalikan pada kebanyakan orang. Algoritma mesin pencari modern, seperti Google, turut mempersempit kemampuan seseorang untuk beropini dengan menyajikan informasi berdasarkan riwayat pencarian. Upaya untuk mengoptimalkan pengalaman pengguna justru menimbulkan efek samping yang tidak diharapkan, yaitu semakin menajamnya bias.
Segala hal yang hendak kita percayai hanya terbatas pada informasi sepihak dan terbatas yang tersedia. Lebih lanjut lagi, kemudahan semacam ini akan melahirkan fenomena "new illiteracy" yang digambarkan sebagai ketidakmampuan seseorang untuk membedakan fakta dan fiksi yang berujung pada hilangnya pemikiran kritis.
Pemikiran kritis (critical thinking) pada umumnya dianggap sebagai cara berpikir seseorang guna meningkatkan kualitas pemikirannya melalui aktivitas menganalisa, menilai, merekonstruksi pemikirannya dengan baik, dan aktivitas ini hendaknya diarahkan atas inisiatif, disiplin, pantauan, dan koreksi pribadi. Berpikir dengan kritis kemudian akan menjadi salah satu instrumen utama dalam literasi digital di tengah-tengah dominasi media massa.
Berpikir kritis pun bersifat transformatif dan mengharuskan setiap individu untuk menjadi ahli dalam mendeteksi diri sendiri saat disesatkan atau dibohongi. Tanggung jawab untuk membedakan antara informasi yang benar (akurat dan kredibel) dengan informasi yang keliru (disinformasi) bukan lagi menjadi tanggung jawab para ahli seperti editor, penerbit, kritikus, pustakawan, atau profesor, melainkan seluruh elemen masyarakat.
Dengan semangat memberantas penyebaran konten-konten negatif di media sosial, sekaligus membangun pola pikir kritis di masyarakat, sebuah gerakan bernama Gerakan Nasional Literasi Digital #SiBerkreasi pun diinisiasi. Gerakan ini terwujud berkat kolaborasi berbagai institusi pemerintah dan swasta, masyarakat,dan aktivis literasi digital.Â