Selain negara dan masyarakat internasional, kebijakan penghentian ekspor bauksit dan tembaga juga menimbulkan respon dari salah satu perusahan bijih tembaga terbesar di Indonesia, PT. Freeport Indonesia (PTFI). Sebagaimana amanat UU Minerba yang menyatakan bahwa perusahaan wajib memiliki smelter sebagai fasilitas pengolahan dan pemurnian dalam negeri tiga tahun setelah UU diterbitkan. Dalam hal ini, artinya PFTI ikut terkena dampak pelarangan ekspor tembaga karena proyek smelternya yang belum rampung.Â
Harry Pancasakti, Vice President Government Relation PFTI menuturkan kini Freeport sedang dalam tahap membangun dan merampungkan proyek smelter keduanya di Java Integrated and Ports Estate (JIIPE), Gresik. Â Konstruksi proyek tersebut diperkirakan baru akan rampung akhir tahun 2023 dan siap beroperasi pada 2024 mendatang. Merasa terdesak, PFTI lantas kemudian mengirim surat pernyataan ketidaksanggupannya menyelesaikan proyek smelter pada Juni 2023 kepada pemerintah.
Merespon surat tersebut, Irwandy Arif selaku staf khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menuturkan bahwa pemerintah telah menerima tetapi belum dapat dilakukan peninjauan. Sesuai arahan langsung dari Presiden Joko Widodo, perpanjangan kontrak harus dilakukan melalui mekanisme hukum yang benar serta pertimbangan ekonomi dan dampaknya bagi kepentingan negara.Â
Pemerintah pun saat ini sedang dalam tahap pengawasan terhadap progres proyek smelter PFT di JIIPE selaku kawasan industri terintegrasi dan terbesar di Jawa Timur itu. Sejauh ini terpantau progres proyek PFTI baru mencapai 54%. Maka dari itu, pemerintah masih dalam tahap diskusi dan pengkajian sehingga belum dapat memberikan keputusan apapun terhadap PFTI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H