Pada bab kedua, yaitu bab yang berjudul "Aku sebagai Muslim" ini bertuliskan tentang identitas agamanya. Sejak lahir, ia sudah beragama muslim. Bahkan ia tidak pernah memilih agamanya ini. Namun, ia sudah ditanami nilai-nilai dan dasar dasar agama islam sejak kecil oleh keluarganya. Berbeda dengan anak-anak seusianya, sejak masih duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah, ia sudah senang sekali membaca banyak buku yang lumayan berat untuk usianya yang masih termasuk belia. Ia suka membaca buku seperti, Islam Ahmadiyah, Islam Jamaah, dan juga Perdebatan Islam dan Kristen yang ditulis oleh pamannya sendiri yang saat itu berkuliah di IAIN Jakarta. Dari hasil hobby membaca buku berat semacam ini, membuatnya menjadi mempunya pikiran dan wawasan yang sangat luas tentunya. Sehingga, ia semakin membangun identitas keislamannya ini.
Setelah lulus dari sekolah dasar, ia langsung melanjutkan pendidikannya di pesantren Al-Qur'an yang ada di Serang. Selain pesantren, ia juga sekaligus bersekolah di sekolah negeri pada umumnya. Hingga suatu saat ia pindah ke pesantren yang berada di Kota Tasikmalaya, yaitu sekolah formal yang masih dalam lingkungan pesantren. Selama menempuh pendidikan di sana, ia selalu merasa dekat dengan Allah Swt. Dan selalu merasakan kesejukan di dalam hatinya.
Setelah dari pesantren, ia melanjutkan pendidikannya di IAIN Jakarta atau sekarang ini sudah dikenal dengan nama UIN Jakarta, ia mengambil jurusan perbandingan agama. Selama kuliah, ia bergabung dalam organisasi ekstra HMI, namun ia tidak begitu aktif dalam organisasi tersebut, sehingga perlahan-lahan ia merasa teralienasi. Ia selalu rajin dalam mengembangkan potensi dirinya, seperti mengelola media kampus, dan menuangkan segala apa yang ada di pikirannya sehingga menghasilkan sebuah tulisan. Ia juga turut belajar dengan mengikuti Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI), dan juga seringkali ikut dalam diskusi LSM yang mengangkat tema mengenai isu-isu perempuan.
Akhirnya, di tahun 1993 ia lulus dari IAIN Jakarta. Selama berkuliah disana, ia banyak mempelajari nilai-nilai islam yang berhadapan langsung dengan modernitas. Selama ia berkuliah di jurusan perbandingan agama ini, ia menyadari bahwa agama apapun mengajarkan umatnya pada keindahan, kebaikan, serta kedamaian dalam hidup dan jiwanya. Hal ini, membuat Neng Dara dan teman-temannya yang lain, yang berlatar belakang agama berbeda dengan dirinya ini mencoba untuk meruntuhkan sekat-sekat antar kelas sosial, ras, etnis, agama, suku bangsa, tanpa meninggalkan identitas masing-masing yang telah didapat sejak lahir.
Neng Dara Affiah merupakan seorang perempuan hebat yang dapat menerima dan memahami perbedaan-perbedaan antar agama. Oleh karena itu, ia diberikan kesempatan ke luar negeri seperti berkunjung ke Finlandia untuk mengunjungi acara yang telah diselenggarakan oleh perempuan kristen dunia pada tahun 2000. Bukan hanya itu, bahkan ia menjadi narasumber mengenai gerakan perempuan muda dalam aktivitas lintas agama di Indonesia. Kunjungannya ke Finlandia ini menyadarkannya bahwa perempuan muslim, biasa dianggap disana sebagai oerempuan yang bercadar dan dipoligami. Hal ini membuatnya berpendapat bahwa hidup sebagai anggota minoritas agama islam diantara mayoritas agama kristen sangatlah tidak nyaman, karena terus mendapatkan prasangka-prasangka buruk terhadap pemeluk agama minoritas. Oleh karena itu, ia menegaskan pada semua orang termasuk dirinya sendiri untuk menghindari prasangka-prasangka ataupun stereotip-stereotip tertentu atas ras, agama, maupun bangsa. Mulailah dengan membuka mata dan hati untuk saling mengenal, mengetahui dan memahami antar perbedaan yang ada.
Pada bab ketiga, bertuliskan tentang identitasnya sebagai perempuan. Sama halnya dalam agama, ia tidak pernah memilih agama, namun agama islam lah agama yang dianutnya sejak ia lahir. Begitu pula dengan jenis kelamin, ia tidak pernah memilih sebagai perempuan, melainkan ini adalah takdir yang diberikan oleh Allah Swt.
Sejak masih kecil, ia telah dididik menjadi seorang "perempuan" yang notabenenya adalah ahli dalam mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga seperti memasak, membersihkan rumah, dll. Hal seperti ini tidak dialami oleh kakak laki-lakinya yang selalu leluasa untuk bersantai-santai di rumah. Bisa dilihat dari kedua ini terdapat perbedaan yang sangat mencolok bukan? Ya, ia merasakan disini terdapat ketidakadilan dalam pembagian tugas/kerja yang menyebabkan ketimpangan gender. Identitas feminis yang ada pada diri penulis ini ternyata dipengaruhi oleh neneknya sendiri, yaitu Hj. Masyitoh. Menurut neneknya ini, islam adalah moralitas yang ditemukan pada kehidupan sehari-hari seperti kejujuran, keadilan, dan kebaikan pada sesama. Mengingat apa yang diungkapkan neneknya ini, membuat Neng Dara semakin semangat dalam menegakkan kesetaraan gender.
Sebenarnya, pertemuan Neng Dara dengan feminisme ini berawal saat ia beekuliah di IAIN Jakarta, dan aktif dalam mengikuti FORMACI ini. Dalam forum ini, ia banyak mendapati ilmu dan menjelajahi ilmu pengetahuan, tak terkecuali feminisme. Ada suatu ketika di dalam forum ini mendiskusikan buku karya Arif Budiman yang berjudul "Pembagian Kerja secara Seksual". Dimulai dari sini, ia menyadari adanya ketidakadilan pembagian kerja antara laki-laki dengan perempuan. Yang nyata, hal ini merupakan akar dari masalah penindasan terhadap kaum perempuan. Kesadarannya akan hal ini menjadi penyemangat dirinya untuk melakukan perubahan dan mensosialisasikan ke masyarakat luas lewat tulisan-tulisannya ini.
Pada bab terakhir, yaitu bab keempat, disini bertuliskan tentang identitasnya sebagai anak bangsa. Pada mulanya, ia tidak tertarik oleh kehidupan negeri ini karena kepemimpinan rezim Soeharto, membuatnya menjadi tidak mempercayai penguasa. Menurutnya, pemerintah hanyalah para badut yang memiliki kemampuan lebih dalam memberikan slogan-slogan, tetapi bukan sebagai pelayan publik yang bisa dipercayainya. Pada zaman itu (1964-1998) terjadi kekacauan dimana korupsi semakin merajalela di negara Indonesia, khususnha dikalangan para elite/para petinggi negara. Hal yang membuat kesal adalah mereka terus dilindungi oleh aparat militer. Korupsi yang pada awalnya dianggap sebagai perbuatan tercela dan berdosa, kini dianggap sebagai suatu hal yang biasa ditemukan di kalangan pemerintahan/elite. Mengingat hutang negara yang semakin bertambah saat itu, mengakibatkan demo besar-besaran yang dilakukan oleh mahasiswa sehingga meruntuhkan pemerintahan orde baru.
Dan akhirnya, di era reformasi inilah penulis baru bisa merasakan demokrasi yang sesungguhnya. Adanya praktik demokrasi, kebebasan pers, dan lainnya bisa terwujud di era reformasi hingga sekarang ini. Dan kini, penulis telah menjadi Komisioner dan Ketua Sub Komisi Pendidikan dan Litbang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dan juga menjadi dosen kebanggaan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Jakarta.
Setelah saya membaca ini, dapat saya simpulkan bahwa feminisme adalah suatu sikap dimana perempuan dapat melakukan segala sesuatu dan berdaulat atas dirinya sendiri dan tidak terpengaruh/goyah akan pendapat orang lain. Buku ini sangat menarik untuk dibaca, jadi saya benar-benar merekomendasikan buku ini sebagai bacaan untuk mengisi waktu luang anda. Dengan dituliskannya buku ini, diharapkan agar kaum laki-laki tidak menganggap sebelah mata kaum perempuan sebagai makhluk yang lemah. Dan untuk kaum perempuan, mulai sekarang beranikan lah untuk menyuarakan pendapatnya demi tercapainya kesetaraan antara kaum laki-laki dan perempuan.